28 March 2024 - 19:23 19:23

Inalum Kuasai 51% Saham dan Dosa Freeport

Mengambil alih 51 % saham PT Freeport Indonesia sebagai keberhasilan atau kebodohan, akan diuji seiiring perjalanan waktu. Perjalanan awal adalah pelunasan atas pembelian 40% Participating Interest Rio Tinto dan 4,68% saham Freeport Mac Moran Inc (FCX) senilai  USD3,85 miliar sebagai komitmen SPA (Sales Purchace Agreement). Setelahnya, perdebatan dan penilaian, sekaligus muncul data baru,  bisa jadi menjadi ujian atas langkah yang dilakukan Inalum.

Diperlukan wakyu 9 tahun untuk menguasai 51% saham PTFI perjalanan yang cukup lama pun tetap diwarnai dengan pelanggaran hukum yang ada, UU Minera No.4/2009. Kontrak Karya  menjadi IUP Operasi Produksi, sesuai Pasal 83 ayat b UU Minerba, maksimal luasan yang diijinkan sebesar 25.000 Ha.  Ini menjadi rawan untuk digugat kembali di Makamah Agung.

Wajar proses menjadi panjang. Hampir semua pemegang KK dan PKP2B terbukti membangkang atas Pasal 169 b UU Minerba , walaupun UU Minerba telah memberi waktu 1 tahun sejak diberlakukan Januari 2009. Pemilik KK dan PKP2B harus menyesuaikan semua ketentuan yang tercantum dalam KK dan PKP2B dengan isi UU Minerba , kecuali mengenai penerimaan negara atau upaya peningkatan penerimaan negara.   Dari pasal ini,  jelas dan tegas, negara sangat melindungi dan menghormati pengusaha KK dan PKP2B tentang jangka waktu berakhirnya kontrak.

Penilaian yang cukup aneh jika dikatakan, KK dan PKP2B sudah mengandemen sesuai pasal 171 dan 172.  Sebaliknya justru terjadi pelanggaran pasal 169 b , termasuk pasal 170 soal kewajiban melakukan pemurnian di smelter dalam negeri sebagaimana dimaksud pasal 103.  Menjadi sangat jelas, untuk mengeri keseluruhan isi UU Minerba, semestinya dibaca dalam “satu tarikan nafas panjang”  dari pasal 1 sampai pasal 175. Tidak membalik logika dengan membaca melompat lompat . Sebatas memilih pasal yang disukai dan membuang pasal yang kurang menguntungkan bagi pengusaha.  Inilah yang dinamakan sikap ‘sontoloyo’.

Dari catatan nilai akuisisi, wajar muncul perdebatan panjang. Meskipun nilai 40%  PI Rio Tinto sebesar USD3,5 miliar telah dibayarkan oleh PT Inalum diproyeksikan tetap memunculkan lembaran masalah baru.  Taksiran perhitungan saham oleh FXC 10%  USD1,6 miliar (2041) , KESDM 10% USD630 juta (2021)  , Inbreng 9,36 %  USD550 juta  (2021)  dan Menteri Jonan 40% PI senilai USD4 miliar dengan batasan valuasi 2041.

Sebaliknya, berdasarkan harga Perticipating Interest 40% milik Rio Tinto dengan batasan valuasi sd tahun 2041 oleh Morgan Stanley memberikan nilai USD3,6 miliar , DB  USD3,3 miliar , HSBC USD3,85 miliar , UBS USD4 miliar dan RBC menilai USD3,73 miliar.

Valuasi yang dijadikan dasar PT Inalum bisa menimbulkan masalah besar dengan adanya dugaan mark up. Mengingat atas dasar perhitungan valuasi PI Rio Tinto barbasiskan kontrak karya tahun 1991, valuasi potensi di blok A dan Blok B. Padahal sangat jelas, surat menyurat yang keluar dari  ESDM, partisipasi Rio Tinto bukan ditujukan untuk Blok A atau existing block. Bisa jadi pemerintah saat itu justru berpikir dengan visi ke depan. Rio Tinto secara tidak langsung diminta untuk melakukan eksplorasi di Blok B.

Surat Menteri Pertambangan dan Energi IB Sujana nomor 1826/05/M.SJ/1996 tanggal  29 April 1996 dan surat Menteri Keuangan nomor S-176/MK.04/1996 tanggal 1 April 1996 oleh Marie Muhammad yang ditujukan kepada CEO Freeport Mc Moran, jelas tertulis dan sekaligus dipertegas pada point 3 , yaitu bahwa imbalan atas investasi sebesar USD850 juta tersebut antara lain adalah PT FIC akan mengalihkan 40% dari hak perusahaan RTZ yang akan didirikan di Indonesia , (tidak termasuk hak dan kewajiban yang sudah ada pada tahap ekploitasi pada wilayah kontrak karya blok A).

Dengan dasar surat ESDM dan Menteri Keuangan tersebut jelas dapat diterjemahkan bahwa pada dasarnya nilai awal RTZ sebesar USD850 juta belum sama sekali meningkat di tahun ini, mengingat RTZ belum mendapatkan keuntungan dari produksi PTFI di Wilayah Operasi Blok A. Dari sini dapat dicatat, terjadi pembodohan public oleh lembaga keuangan yang dipakai Inalum yang menilai valuasi RTZ ada di kedua blok (A dan B). Ini semestinya menjadi “pintu” masuk KPK agar tidak menimbulkan syak wasangka di ruang publik yang notabene memiliki sumber daya alam yang terkandung dalam PTFI. Mengingat kerugian yang terjadi bukanlah uang kecil bagi kondisi keuangan negara saat ini.

Apalagi sehari setelah pelunasan PI Rio Tinto pada, 22 Desember 2018, dan dikaitkan pernyataan mantan Guru Besar UI Prof Hikmahanto Juwana pada  11 Juni 2015 di salah satu media.  Hikmahanto mempertegas bahwa IUPK PTFI sebagai  bentuk penyeludupan hukum “. Dipertegas oleh Mantan Menko Kemaritiman Dr Rizal Ramli, yang langsung memposting di group WA dan Twitter  “Dua masukan Rizal Ramli terkait Freeport yang Diabaikan Jokowi”. Tidak kalah juga, sebagai pelaku sejarah postingan mantan staffsus Menteri ESDM Dr Said Didu “Saatnya saya buka masalah ini.. Perpanjangan operasi tsb atas perintah atasan beliau, apa perlu dibuka semua termasuk siapa sebenarnya dibelakang papa minta saham ? kalau kalian bikin isu aneh terus lama2 perlu juga semua dibuka biar ada yang kageeetttt”.

Pernyataan ke dua tokoh yang bersentuhan  dan terlibata langsung atas proses yang ada, tidak boleh diabaikan oleh KPK. Mereka tahu persis siapa penumpang gelap disetiap perpanjangan KK dan PKP2B di negeri ini.  Bahkan mereka berdua telah mengirimkan kode keras dan penting kepada penegak hukum.

Tercatat jelas, sesungguhnya sejak lama Rio Tinto berkeinginan melepas sahamnya di PTFI secepat mungkin dari tambang Gresberg.  Rio Tinto beranggapan  tailing  PTFI telah merusak lingkungan dan sejak tahun 2008 RTZ menyadari atas sikap Norwegia yang melarang lembaga dana pensiun negara untuk menginvestasikan dananya di perusahaan Rio Tinto. Alasanya jelas, RTZ dianggap terlibat langsung atas  kerusakan lingkungan akibat operasional tambang Gresberg .

Bersamaan juga, lembaga pensiun serupa dari Skandanavia dan Eropah juga melarang dan membatasi investasi di Rio Tinto akibat masalah lingkungan yang diabaikan. Sehingga, semakin aneh dan tak masuk akal sehat ketika BPK-RI dan KLHK tidak menetapkan kerugian negara dari hasil audit yang sudah ada.

Saat ini, publik bukanlah komunitas yang bodoh dan tidak tahu atas masalah yang menyangkut sumber daya alam (SDA). Publik merasa memiliki dan mengontrol atas SDA yang telah diamanahkan oleh negara kepada pemerintah. Sikap ini menjadi sikap kedewasaan publik, yang tentu telah disadari oleh KPK.

Menjadi tidak salah publik mencurigai terjadinya gejala masuk angin oleh pejabat yang semestinya mewakili publik. Keterangan pejabat BPK-RI  Rizal Djalil dan Menteri LHK Siti Nurbaya serta Menteri ESDM Iganatius Jonan pada rilis media 20/12/2018 dikantor BPK telah menetapkan tidak ada  kerugian negara akibat “nilai ekosistem yang dikorbankan dari pembuangan tailing tambang Freeport “.

Berdasarkan 14 temuan  hasil audit BPK dengan menggunakan jasa IPB (Institut Pertanian Bogor) yang telah melakukan perhitungan jasa ekosistem yang hilang berdasarkan analisis perubahan tutupan lahan dari tahun 1988 sd 1990 dan tahun 2015 sd 2016 oleh LAPAN  (Lembaga Penerbangan Antariksa Negara) menunjukan nilai jasa ekosistem yang hilang sebesar Rp185 triliun.

Ironisnya, BPK justru menetapkan denda PNBP terhadap kawasan hutan lindung  seluas 4.535 Ha digunduli tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebatas Rp 460 miliar. Padahal tercatat lebih kurang 14 item temuan BPK yang masih tanda tanya apakah sudah dilakukan penyelesaiannya , termasuk belum adanya dokumen AMDAL untuk beberapa blok tambang , seperti  blok Deep Ore Zone dan Deep Mill Level Zone , Big Gosan , Gresberg Cave .

Dari proses selama ini, diduga secara tidak langsung “berbagai dosa kerusakan lingkungan ” oleh PTFI sejak berproduksi  tahun 1973 justru akan diwariskan kepada sampai PT Inalum, setelah menguasai 51% saham PTFI.

Bila dikemudian hari BPK menemukan adanya kerugian negara dari audit investigasi terhadap kerusakan ekosistem akibat pembuangan limbah tambang atas perintah UU. Dan yang dikorbankan jelas, bagaimana nantinya PT Inalum akan menanggungnya? Dari hasil keuntungan yang semestinya masuk sebagai keuntungan rakyat Indonesia, justru harus dibayarkan akibat dosa yang dilakukan PTFI.

Menjadi sangat logis saya menduga, IUPK Operasi Produksi PT FI yang telah dikeluarkan oleh Menteri ESDM menjadi cacat hukum. Selain bertentangan dengan pasal 83 UU Minerba (batasan luasan), diduga belum adanya dokumen AMDAL .

Akhirnya berdasarkan banyak fakta yang ada, kesimpulan sementara di akhir 2018, adalah transaksi PI Rio Tinto dan saham FXC diduga berselemak dengan penuh dosa dosa .

Jakarta 23  Desember 2018
Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait

|
28 March 2024 - 12:19
Libur Paskah 29 Maret, Dishub DKI Ganjil Genap Ditiadakan

WARTAPENANEWS.COM - Dinas Perhubungan [Dishub] DKI Jakarta meniadakan aturan ganjil genap saat libur Paskah pada Jumat, 29 Maret 2024. Hal ini disampaikan Dishub DKI melalui akun X yang dilihat  pada

01
|
28 March 2024 - 11:18
Massa Demo di Patung Kuda, Tuntut Prabowo-Gibran Didiskualifikasi

WARTAPENANEWS.COM - Sekelompok massa menggelar aksi unjuk rasa di Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (28/3/2024). Mereka menuntut hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi pasangan calon (paslon) capres-cawapres 02, Prabowo Subianto-Gibran

02
|
28 March 2024 - 10:12
Lebaran 2024, Jumlah Pemudik Pesawat Diprediksi 7,9 Juta Orang

WARTAPENANEWS.COM -  PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney memprediksi peningkatan jumlah penumpang pesawat pada Angkutan Mudik Lebaran 2024. Diperkirakan mencapai 7,9 juta orang. Angka itu akumulasi dari penumpang yang

03