28 March 2024 - 18:12 18:12

Isu Politik Identitas yang Norak dan Konyol

Oleh : Pangi Syarwi Chaniago*

Hiruk-pikuk panggung politik nasional dua bulan terahir belum memberikan efek yang signifikan terhadap elektabilitas kedua pasangan capres.

Penting bagi kedua pasangan kandidat capres untuk lebih berhati-hati dalam mengelola komunikasi politik yang benar, membenahi manajemen kampanye dan manajemen isu agar tidak kontra-produktif, blunder terhadap elektabilitas masing-masing kandidat.

Jokowi sebagai incambent fokus saja pada prasasti dan monumen yang sudah dicapainya, ngak usah terlalu baper dan reaksioner merespon genderang perang yang dimainkan sang penantang.

Keuntungan sebagai petahana banyak sekali, fokus main pada capaian dan target kerja yang sudah tercapai, sehingga tersampaikan dengan baik ke publik apa yang menjadi prestasi dan kinerja keberhasilan pemerintah, ujungnya masyarakat puas.

Apabila masyarakat puas dengan kinerja incambent (approval rating) maka rakyat akan kembali memberi kepercayaan berupa mandat legitimasi periode kedua dan lahir pemilih yang mantap betul (strong voter) memilih petahana.

Mari kita belajar, jangan masuk ke wilayah destruktif dengan menyerang karakter pribadi, jangan coba coba masuk ke zonasi pusaran air yang bisa menenggelamkan siapa pun.

Yang saya heran menggapa tim petahana belakangan sangat gandrung menyerang dengan isu identitas dari pada membuka kotak pandora prestasi, capaian kinerja petahana? Ini jelas wilayah pertempuran yang berbahaya bagi incambent.

Baca juga :
Pangi: Kalau Ratna Ratu Hoax, Andi Arief Bisa Disebut Raja Hoax

Kesalahan dalam menentukan tema kampanye, reaksi berlebihan terhadap sebuah isu bahkan pemilihan kata dan diksi yang salah bisa berdampak buruk pada image kandidat secara langsung.

Prabowo misalnya dalam kasus Hoax Ratna Sarumpaet harus menelan pil pahit mendapat sentimen negatif dari publik sebagai akibat salah dalam menentukan sikap. Artinya, sentimen negatif publik terhadap isu sangat tinggi dan dapat dipastikan akan merugikan Prabowo. Begitu juga dalam isu-isu lain seperti Tampang Boyolali yang sentimen negatif terhadap citra Prabowo, bahkan bisa mengerus elektabilitas sang penantang.

Sementara untuk kubu Jokowi, sikap reaktif dan reaksioner terhadap sebuah isu dan kritik oposisi juga berdampak negatif. Politik Sontoloyo misalnya direspon negatif dengan tingkat ketidak-sukaan hasil riset voxpol center mencapai 65 persen.

Namun di sisi lain, ketika pemerintah fokus pada kinerja, memakai kaca mata kuda dan tak terpancing, justru publik memberikan respon positif, hal ini bisa dilihat dalam baberapa isu utama seperti penyelenggaraan Asian Games, kunjungan ke korban Gempa dan Tsunami Palu, kunjungan ke korban gempa Lombok dan kunjungan Tsunami Selat Sunda.

Kubu Prabowo juga mendapat insentif secara tidak langsung dari beberapa isu yang dianggap sebagai kelemahan pemerintah, isu tersebut di antaranya kurs Rupiah yang sempat menyentuh angka Rp15.000, kasus pembakaran bendera HTI sampai aksi reuni 212.

Dari pemaparan kasus di atas, dapat diambil pelajaran penting bahwa probalitas incambent memenangkan kontestasi elektoral pilpres 2019 masih sangat besar, dengan catatan tetap fokus pada kinerja dan kerja nyata dan tidak terpancing untuk memberikan respon dan bersikap reaktif berlebihan merespon/menyikapi isu yang sengaja didesain dan digoreng team lawan politik.

Oleh karena itu, sikap reaktif berlebihan ini justru akan mengalihkan fokus pemerintah yang pada akhirnya membuat performa pemerintah menurun. Saya tidak tahu, apakah tim Jokowi sadar atau tidak? Jika situsi ini terus dibiarkan terjadi tentu akan menjadi keuntungan bagi sang penantang di tengah miskinnya narasi kampanye sebagai alternatif yang ditawarkan kepada publik.

Padahal banyak kepemilikan isu yang dibahas seperti ketimpangan sosial, keadilan, penegakan hukum, mengurangi kemiskinan, isu pembangunan, isu kesehatan, memberdayakan kelas menengah ke bawah.

Apakah karena Prabowo kehabisan energi menembak isu di atas sehingga mulai bergeser masuk ke isu yang memantik emosional publik. Coba pak Prabowo menanyakan bagaimana cara pak Jokowi menjaga dan menegakkan keadilan serta hukum?

Saya ingin memberikan konteks, bahwa incambent punya rekan jejak, namun sangat disayangkan terjebak pada debat kusir yang tak substansial, tak berhubungan langsung dengan isu kerakyatan. Anehnya lagi Jokowi ikut menari pada genderang lawan. Jokowi terjebak, masuk pada tempo irama permainan yang dimainkan lawan politik.

Dalam pendekatan politik identitas, capres dan cawapres menyajikan narasi yang dangkal, sehingga memakai jalan pintas melupakan perbedatan soal adu program, ide dan adu gagasan.

Parahnya lagi, kubu pemerintah terlihat gamang mem-frame, mensosialisasikan capaian yang sudah dicapai, program dan keberhasilan pemerintah. Menurut pikiran saya, sebagai incambent ngak perlu reaksioner, cengeng, baper merespon setiap kritikan atau tuduhan berbau politis yang dituduh sang penantang ke petahana, di bawah santai aja, saya ngak melihat Jokowi yang dulu “Gak Mikir” Pokoke Aku “Rapopo”.

Trend belakangan adalah kampanye yang berputar pada isu politik identitas, adu ke-sholehan dengan adanya tantangan lomba baca kitap Al-qur’an, itu konyol dan akan menjadi preseden buruk, bentuk atraksi kesalehan fisik yang dangkal dan norak banget, tak mencerdaskan, tak ada pendidikan politiknya.

Untuk diketahui saja bahwa kita bukan negara agama, kita negara Pancasila, catat bahwa trayek kebangsaan kita bukan milik satu agama. Memantik emosional agama lain, sehingga punya korelasi linear terhadap naiknya angka swing voter dan uncided voter. Bahkan pada level yang paling parah, pemilih rational berpotensi golput.

Saya ingin katakan begini, elite tidak melakukan pendidikan politik yang bermutu pada masyarakat. Elite politik punya tanggung jawab moral bagaimana merawat konsensus kebangsaan, menjaga NKRI, kebhinekaan, dan kemajemukan kita. Jangan kemudian narasi emosional dieksploitasi melampui dosisnya.

Pertanyaan yang mengelitik, apakah fenomena di atas ada pengaruh copy paste dari fenomena konteks global yang terjadi di Amerika Serikat dan Ingris? kampungnya demokrasi juga menguat kampanye memantik sintemen emosional ke-agamaan dan menguatnya politik identitas, narasi yang resonansinya dangkal.

Perang kata-kata dan politik saling sindir yang dimainkan Donal Trump menyerang Hillry Clinton, frame politik identitas. Kasus yang menarik di Indonesia adalah perang tingkat ke-sholehan juga tak bisa terhindarkan pada pilpres 2019.

Saya sepakat, bahwa kita sedang mencari pemimpin negara bukan pemimpin agama, pemimpin yang bisa mengurai problem fundamental dari level hulu sampai hilir, kita tidak mencari pemimpin agama tapi pemimpin bangsa yang mampu menjawab problem yang sedang dihadapi masyarakat dan menawarkan proposal politik bisnis harapan pada rakyatnya. (*)

*Pengamat Politik, Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting

Baca juga :
Jelang Pemilu, Isu Politik Identitas Makin Menguat

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait

|
28 March 2024 - 12:19
Libur Paskah 29 Maret, Dishub DKI Ganjil Genap Ditiadakan

WARTAPENANEWS.COM - Dinas Perhubungan [Dishub] DKI Jakarta meniadakan aturan ganjil genap saat libur Paskah pada Jumat, 29 Maret 2024. Hal ini disampaikan Dishub DKI melalui akun X yang dilihat  pada

01
|
28 March 2024 - 11:18
Massa Demo di Patung Kuda, Tuntut Prabowo-Gibran Didiskualifikasi

WARTAPENANEWS.COM - Sekelompok massa menggelar aksi unjuk rasa di Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (28/3/2024). Mereka menuntut hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi pasangan calon (paslon) capres-cawapres 02, Prabowo Subianto-Gibran

02
|
28 March 2024 - 10:12
Lebaran 2024, Jumlah Pemudik Pesawat Diprediksi 7,9 Juta Orang

WARTAPENANEWS.COM -  PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney memprediksi peningkatan jumlah penumpang pesawat pada Angkutan Mudik Lebaran 2024. Diperkirakan mencapai 7,9 juta orang. Angka itu akumulasi dari penumpang yang

03