23 April 2024 - 18:07 18:07

Jejak Pengawal Jenderal Sudirman

WartaPenaNews, Jakarta - Perjalanan gerilya Jenderal Sudirman sudah demikian melegenda. Figur Jenderal Sudirman saat kembali pada Yogyakarta, pada Juli 1949, dengan mengenakan jaket panjang dan ikat kepala (blangkon), sudah jadi dokumen ikonik. Entahlah sudah berapakah monumen yang dibuat berdasarkan model Sudirman dengan pakaian bersahaja semacam itu.

Perjalanan gerilya Sudirman memakan waktu lebih dari enam bulan, dan menyertakan sejumlah besar prajurit yang menjaga Sudirman, dengan pekerjaan masing-masing. Dalam dokumen yang selama ini dikenal publik, baik teks atau visual (termasuk film), nama pengawal yang paling popular ialah (dengan pangkat saat peristiwa) Kapten Suparjo Rustam dan Mayor Tjokropranolo. Sesaat beberapa nama pengawal lain, hampir tidak dikenal, dan akhirnya dilupakan demikian saja.

Letkol Saudi

Satu diantara tokoh penting disebut ialah Letkol Suadi Suromihardjo. Dalam foto dokumentasi, figur Suadi dapat dikenali dengan baret hitam dan senapan M1 Carbine, yang selalu terpasang di dadanya. Tempatnya (secara fisik) tidak sudah pernah jauh dari Jenderal Sudirman, itu sesuai dengan jabatannya, sebagai Komandan Pasukan Pengawal Panglima Besar Sudirman. Dari sisi hirarki (dan pangkat), Suparjo Rustam dan Tjokropranolo ada dibawah Suadi.

Waktu kembali pada Yogya dari perjalanan gerilya (Juli 1949) Pak Dirman diterima upacara kehormatan pasukan TNI. Di panggung kehormatan, seperti yang kelihatan dalam foto yang beredar selama ini, Pak Dirman terima defile, bersama beberapa tokoh lain, diantaranya ialah Suadi dengan tampilan khasnya. Dalam foto classic yang mengabadikan peristiwa itu, Suadi ada satu frame dengan Pak Dirman, Sjafrudin Prawiranegara (Perdana Menteri “darurat”), Letkol Soeharto (Komandan Brigade di Yogya, selanjutnya Presiden RI), dan Kapten Suparjo Rustam (ajudan Pak Dirman, nantinya memegang Mendagri).

Selesai Pak Dirman meninggal, Suadi meneruskan profesi militer dengan lancar, dan bisa dibilang benar-benar spesial. Suadi sudah sempat ikuti pendidikan di dua lembaga berprestise: Seskoad di AS (Fort Leavenworth) dan Staff College, Quetta, Pakistan. Berdasar reputasi pendidikan seperti berikut, Suadi dipercaya oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memegang Komandan Seskoad di Bandung (1959-1961). Suadi sempat juga jadi Komandan Tim Garuda I, pasukan perdamaian dibawah payung PBB. Pasukan Garuda dibawah Suadi saat itu ditugaskan ke Mesir (1957) setelah Presiden Nasser menasionalisasi Terusan Suez. Profesi Suadi mulai suram saat Soeharto berkuasa sekitar 1965-1966.

Saat berkuasa, Soeharto secara halus singkirkan Suadi. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terpendam dalam hati Soeharto pada Suadi. Tidak hanya pada foto yang disebutkan pada awal tulisan, setidaknya ada dua pertemuan penting lain di antara keduanya. Pertama saat Suadi mengikuti Soeharto dalam memantau keadaan pasca-Peristiwa Madiun, sekitar tanggal 19 atau 20 September 1948. Soeharto turun langsung ke lapangan berdasarkan perintah Jenderal Sudirman. Ke-2 saat Suadi jadi Komandan Seskoad, Brigjen Soeharto mendapatkan peluang ikuti Pelatihan C di lembaga itu.

Riwayat sah Indonesia meniadakan nama Letkol Suadi karena dia dianggap perwira “Kiri”, berkenaan dengan Momen Madiun 1948. Dakwaan “Kiri” pada Suadi semestinya gugur, saat dirinya ditarik jadi Komandan Pasukan Kawal Panglima Sudirman selama gerilya. Bila benar Suadi ialah partisipan FDR, bagaimana mungkin Pak Dirman mengambil seorang perwira yang dianggap terjebak pemberontakan pada pemerintah yang resmi? Kalau tak dipercaya Pak Dirman, pasti Suadi tidak diikutsertakan dalam perjalanan gerilya.

Tesis yang mungkin dapat diserahkan ialah, Soeharto ingin selalu menguasai dalam banyak hal, ia tidak ingin ada kompetitor, termasuk dalam hal pencitraan, siapa yang paling dekat sama Sudirman. Secara singkat dapat dikatakan, jika cuma dirinya yang dapat disebutkan perwira yang paling dekat sama Sudirman, bukan Suadi.

Melepas profesi

Dari pencarian penulis, setidaknya ada dua nama (pengawal) yang namanya seperti hilang dari catatan sejarah, yaitu Utoyo Kolopaking dan Bambang Sumadio. Kasusnya dikit berlainan dengan Letkol Suadi, yang memang ada eksperimen sistemik dari Soeharto. Utoyo Kolopaking dan Bambang Sumadio “menghilang” secara alamiah, karena mereka dengan menyengaja meninggalkan dunia militer setelah periode perang kemerdekaan, dengan masuk perguruan tinggi umum, yaitu Universitas Indonesia (UI). Utoyo tempuh pendidikan di fakultas hukum, dan Bambang Sumadio pilih jurusan purbakala (sekarang arkeologi).

Waktu ikuti perjalanan gerilya, Utoyo masih berstatus sebagai taruna tahun terakhir pada MA (Akademi Militer) Yogya angkatan kedua. Angkatan pertama sudah dilantik sebagai perwira remaja pada November 1948, beberapa saat sebelum serangan tentara Belanda pada Clash II, 19 Desember 1948. Bertepatan dengan berakhirnya Perang Kemerdekaan, taruna MA angkatan kedua, selanjutnya dilantik sebagai perwira muda (letnan dua), termasuk Utoyo Kolopaking.

Tetapi saat ada peluang untuk masuk perguruan tinggi umum, Utoyo Kolopaking ikhlas melepas statusnya sebagai perwira, untuk masuk Fakultas Hukum UI. Utoyo selanjutnya mengabdi di almamaternya sebagai salah seorang dosen di FHUI. Demikian pula dengan Bambang Sumadio, yang saat menjaga Pak Dirman berpangkat sersan. Setelah lulus dari jurusan purbakala UI, pada pertengahan tahun 1950-an, Bambang mengabdi sebagai dosen pada Jurusan Arkeologi UI sampai tahun 1980-an. Bambang juga sempat ditugaskan sebagai Kepala Dinas Purbakala, dan Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Belanda.

Utoyo dan Bambang seakan memiliki jati diri baru. Buat yang baru mengenalnya belakangan, atau buat para mitra di universitas (termasuk para mahasiswa), mungkin saja tidak sudah pernah menyangka, jika mereka sudah pernah mengikuti Jenderal Sudirman dalam perjalanan gerilya yang benar-benar monumental itu.

Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, nampaknya mekanisme pindah status tidak terlalu susah, hingga mudah saja buat mereka yang ingin meninggalkan profesi militer. Dua orang perwira muda rangking atas lulusan MA Yogya (angkatan pertama), yaitu Soebroto dan Kun Suryoatmojo, termasuk yang pilih meninggalkan profesi militer. Soebroto masuk fakultas ekonomi pada sebuah universitas di Belanda, dan selanjutnya dikenal sebagai teknokrat di waktu awal Orde Baru, dan seringkali jadi menteri. Sesaat Kun Suryoatmojo melalui profesi pada sebuah lembaga analisa yang benar-benar berprestise, yakni NASA.

Kehendak jaman

Selalu ada yang linier dalam sejarah, apa yang terjadi pada tahun-tahun awal kemerdekaan itu, rasanya seperti dengan yang terjadi saat ini, jika profesi di dunia militer hanya satu diantara pilihan. Banding dengan waktu Orde Baru, demikian kuatnya citra militer, hingga banyak remaja lulusan SMA, ingin masuk Akmil, atau akademi kedinasan yang lain yang sejenis.

Pada saat Orde Baru, seorang perwira lulusan Akmil, dapat profesinya apapun, yang terkadang pada jabatan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kompetensinya, sebagai lulusan Akmil. Tentunya hal tersebut dapat terjadi, karena ada dorongan politik, saat rezim Soeharto memberikan ruang seluas-luasnya buat perwira.

Oleh karena itu, buat perwira waktu saat ini, harus pintar-pintar juga manfaatkan waktu luang, untuk meningkatkan pengetahuan. Lebih baik bila memiliki kompetensi lain, di samping tehnis kemiliteran. Jadi mengantisipasi kalau profesinya kurang berkembang di TNI. Mengingat perubahan di luar lingkungan militer, berjalan cepat. Anak muda generasi milenial terkenal benar-benar pintar dan kreatif, dan satu yang tentu, tidak kagum pada profesi militer.

Seperti diulas di atas, saat pemuda seperti Soebroto, Utoyo Kolopaking, Bambang Sumadio, Nugroho Notosusanto, dan selanjutnya, ikhlas meninggalkan profesi militernya, dengan cari pilihan profesi di bidang lain, sekaligus juga memperluas cakrawala. Memang selanjutnya ada yang masuk kembali pada dunia militer, seperti Nugroho Notosusanto, dengan jadi Kepala Pusat Riwayat ABRI (saat ini TNI), dengan pangkat Brigjen (tituler). Tetapi citra Nugroho sebenarnya lebih sebagai cendekiawan atau konseptor, bukan tipikal tentara operasional yang kita mengenal selama ini.

Secara umum dapat dikatakan, sebenarnya sebuah karier memiliki eranya sendiri. Ada eranya karier sebagai tentara demikian memesona, dan selanjutnya menghilang, dan mungkin saja nantinya dapat pasang kembali. Seperti kehidupan manusia biasanya, selalu ada pasang-surutnya.  (mus)

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait

|
17 April 2024 - 14:51
Kemhan Kembali Beli Kapal Perang

WARTAPENANEWS.COM -  Kementerian Pertahanan RI menandatangani kontak pengadaan kapal perang canggih fregat jenis FREMM (Frigate European Multi-Mission). Total ada dua unit kapal yang dibeli Kemhan. Kemhan RI menjelaskan, pengadaan kapal

01
|
17 April 2024 - 14:11
Diduga Sakit Hati, Suami Bunuh Istri dengan 17 Tusukan

WARTAPENANEWS.COM -  Sakit hati gegara orangtuanya kerap dihina, seorang suami di Kabupaten Pelalawan, Riau nekat menghabisi nyawa istrinya dengan menikam 17 tusukan di kamar mandi rumah saudaranya. Dalam hitungan jam,

02
|
17 April 2024 - 13:14
Satu Terduga Pembunuh Pria Bersimbah Darah di Sampang Ditangkap

WARTAPENANEWS.COM - Polisi berhasil mengamankan satu pelaku dugaan pembunuhan di Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Sampang Madura, Rabu (17/4/2023). Peristiwa berdarah itu menimpa korban IA (26) warga banyusokah, Kecamatan Ketapang, Sampang,

03