WartaPenaNews, Jakarta – Kementerian Bidang Perekonomian diminta untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kartu Prakerja yang tengah dijalankan. Sebagaimana diketahui, sepanjang tahun 2020 lalu, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp10 triliun dan meningkat menjadi Rp20 triliun pada tahun 2021.
“Efektivitas kartu Prakerja sangat perlu dievaluasi menyeluruh. Agar anggaran sebesar itu jelas peruntukkannya,†ujar Direktur Eksekutif Institute of Public Communication (IPC) Dr. Radja Napitupulu dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (25/5/2021).
Setidaknya ada 4 masalah serius yang melingkupi persoalan kartu prakerja tersebut. Pertama, data Program Kartu Prakerja tahun 2021 mencatat, hingga 30 April 2021 terdapat 2,77 juta penerima SK Kartu Prakerja. Namun, sebanyak 44 ribu orang yang telah menerima SK, dicabut kepesertaannya, sehingga tersisa 2,73 juta penerima.
Dari angka 2,73 juta penerima itu, lanjut Radja, seluruhnya telah mendapatkan alokasi pelatihan dengan menggunakan dana Rp1 juta per penerima yang disiapkan pemerintah. Namun menjadi pertanyaan besar adalah, hingga akhir April 2021, terdapat hanya 2,63 juta penerima yang telah menyelesaikan minimal 1 pelatihan.
“Artinya, ada 100 ribu penerima yang tidak jelas penggunaan dana pembelian pelatihannya, dan itu totalnya mencapai Rp100 miliar dana pembelian pelatihan yang raib dan tidak jelas. Di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini, ketidakjelasan dana pembelian pelatihan sebesar Rp100 miliar itu sangat perlu dipertanyakan,†katanya.
Kedua, data Kartu Prakerja juga mencatat bahwa dari 7 platform digital yang digunakan peserta, justru platform digital yang dikembangkan pemerintah yaitu Kemenaker, tidak banyak diminati. Sementara platform digital komersial seperti Bukalapak menggaet 33 persen peserta menggunakan platform tersebut untuk membeli pelatihan yang ditawarkan. Sedangkan platform Tokopedia menggaet 26 persen peserta, dan platform sekolahmu menggaet 24 persen peserta.
Platform-platform digital komersial itu juga diberikan ruang oleh pemerintah untuk mengambil komisi (fee) penjualan mereka maksimal 15 persen dari setiap modul pelatihan yang dibeli peserta Kartu Prakerja. Artinya, dari total 3,7 juta transaksi pelatihan senilai Rp1,01 triliun, Bukalapak berhasil menjual pelatihan sebesar 33% x Rp1,01 triliun, menjadi senilai Rp333,3 miliar. Dari angka ini, Bukalapak mendapatkan komisi atau fee hampir sebesar Rp50 miliar. Sedangkan Tokopedia memperoleh komisi sebesar Rp39,4 miliar, dan sekolahmu mendapatkan komisi hingga Rp36,4 miliar.
“Dengan pemberian ruang komisi atau fee bagi digital komersial hingga 15 persen, dari alokasi Rp2,77 triliun untuk bantuan pelatihan maka terdapat pemborosan uang negara mencapai Rp416,16 miliar. Apakah lebih baik memberikan komisi kepada platform-platform digital komersial itu, daripada memberikan bantuan langsung kepada masyarakat? Silahkan masyarakat menilai sendiri,†jelas dia.
Ketiga, data Kartu Prakerja juga mencatat, dari jumlah bantuan pelatihan tahun anggaran 2020 sebesar Rp19,56 triliun, penyaluran dana program Kartu Prakerja tahun 2020 hingga Maret 2021 hanya mencapai Rp15,27 triliun, sehingga terdapat dana sebesar Rp4,29 triliun yang dikembalikan ke Rekening Kas Umum Negara (RKUN). Angka ini terdiri dari setoran sisa dana tahun 2020 sebesar Rp4,007 triliun dan Rp278,2 miliar hingga 30 April 2021.
“Besarnya pengembalian dana Kartu Prakerja ke RKUN salah satunya menunjukkan kurang optimalnya perencanaan pemerintah menjalankan program ini. Hal ini semakin membuktikan, mendesaknya evaluasi terhadap program Kartu Prakerja ini,†tegas Radja.
Keempat, perlu dievaluasi efektivitas dari penggunaan dana Kartu Prakerja itu dengan membandingkan program tersebut dengan program lain. Misalnya, apakah manfaat penggunaan dana program Kartu Prakerja itu lebih efektif hasilnya jika dibandingkan dana yang sama diberikan pada program lain.
Ia menambahkan, dengan anggaran sebesar Rp20 triliun per tahun, apakah hasil Kartu Prakerja lebih efektif dibanding jika dana yang sama diberikan langsung kepada masyarakat baik dalam bentuk tabungan inklusif, atau jika diberikan ke 34 provinsi di Indonesia untuk mengembangkan Balai Latihan Kerja (BLK) di setiap daerah menjadi lebih profesional. Kajian ini harus dilakukan oleh Kemenko Perekonomian selaku pihak yang membawahi program Kartu Prakerja.
“Jika dana Rp20 triliun per tahun itu dibagikan ke 34 provinsi di Indonesia, maka setiap provinsi akan memperoleh dana sebesar Rp588,2 miliar setiap tahunnya untuk mengembangkan BLK berkualitas. Artinya, dalam 3 tahun mendatang dapat diharapkan terjadi peningkatan pekerja di seluruh Indonesia, bahkan siap bersaing dengan kualifikasi terbaik. Bukankah hal ini jauh lebih efektif dan dapat dipertanggungjawabkan pendanaannya?†papar Radja. (rob)