IPOL.ID – Bali merupakan sebuah wilayah yang mempunyai kekhasan di dalam pemajuan kebudayaan yang ada di Indonesia. Dalam setiap penulisan sejarah kebudayaan, ada banyak sumber yang dapat dijadikan sebagai bahan penulisan. Ada yang dari sumber tertulis, sumber lisan, atau sumber-sumber yang bersifat benda material seperti prasasti.
Demikian disampaikan Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) Herry Yogaswara saat membuka Webinar Forum Kebhinekaan Seri ke-16, belum lama ini di Jakarta. Webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR APS) BRIN ini mengangkat tema “Prasasti sebagai Sumber Penulisan Sejarah Kebudayaan Bali”.
Berkaitan dengan penulisan sejarah kebudayaan Bali, ada banyak prasasti atau situs-situs sejarah yang ditemukan. Temuan tersebut dapat dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah kebudayaan Bali. “Saya kira ada kekhasan di Bali ini. Artinya saya masih menerima surat dari komunitas yang meminta sivitas BRIN untuk membantu membacakan prasasti, dan sebagainya,” jelas Herry dalam rilis yang disiarkan brin.go.id.
Lebih lanjut, Herry menerangkan bahwa OR Arbastra memiliki kekhasan yang tidak ada pada organisasi riset lain. Pada organisasi riset lain tidak ditemukan kebutuhan-kebutuhan untuk memahami prasasti dan sebagainya yang berasal dari komunitas. Untuk itu, Herry mengajak para periset OR Arbastra memikirkan bagaimana mekanisme jika misalnya ada temuan prasasti atau situs-situs baru.
“Meskipun sudah ada organisasi atau lembaga yang punya kewenangan yakni Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK), tetapi pada sisi lain sering kali yang kita sebut Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) mungkin tidak selalu mendapat perhatian,” ungkap Herry.
Sementara itu, Kepala PR APS, Irfan Mahmud dalam pengantarnya mengatakan, banyak isu penting tentang Bali yang belum terungkap. Dari sisi antropologi, sudah sangat banyak yang mengungkap tentang Bali, tetapi secara material tentu juga masih banyak yang menarik dari Bali. Misalnya dari tradisinya yang masih berlanjut dan beberapa hal lainnya.
Menurutnya, sebuah prasasti itu bisa mengungkap beberapa toponim-toponim. Kemudian para arkeolog bisa menjajaki lebih jauh cerita di balik toponim itu berdasarkan artefak-artefak yang ditemukan pada lokasi situs-situs yang disebutkan di dalam prasasti.
“Ini penting, karena di Tabanan yang menjadi isu ini pada abad 9-14 M, masih sangat kurang informasi dalam konteks tentang sejarah Bali. Mudah-mudahan ini bisa menjadi inspirasi kita di masa depan,” imbuh Irfan. Karena Bali merupakan bagian penting dari lokasi penemuan prasasti yang sampai sekarang masih banyak temuan-temuan.

Dalam Webinar ini dihadirkan tiga narasumber. Narasumber pertama adalah I Gusti Made Suarbhawa, Peneliti Kelompok Riset Efigrafi PR APS BRIN yang memaparkan tentang Temuan Prasasti Logam di Tepi Timur Danau Tamblingan sebagai Data untuk Mengungkap Situs Tamblingan.
Suarbhawa menjelaskan, pada bulan September 1997, salah seorang petani penggarap dari Desa Wanagiri saat menggarap lahan di tepian timur Danau Tamblingan, cangkulnya terantuk benda keras. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata benda tersebut adalah lempengan prasasti tembaga. “Temuan lempeng prasasti tembaga ini menjadi indikator penting dan tonggak awal Balai Arkeologi Denpasar untuk melaksanakan penelitian di sekitar Danau Tamblingan,” jelas Suarbhawa.
Menurutnya, tujuan dari penelitian ini sebagai tolak ukur untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan berkenaan dengan korelasi prasasti yang ditemukan tahun 1987 dan prasasti tahun 2002 dengan situs Tamblingan. Isi prasasti Tamblingan dikeluarkan pada tahun 1306 Saka atau 1384 Masehi ditujukan kepada masyarakat kelompok perajin besi atau pande besi yang semula bermukim di wilayah Desa Tamblingan.
Para pande besi diinstruksikan agar kembali bertempat tinggal di Desa Tamblingan. Dalam proses pengembalian ini melibatkan para pejabat daerah yang berkedudukan di Ularan sebagai mediator dan sebagai pengawal yang memberikan jaminan keamanan lingkungan. Hal ini untuk memberikan perlindungan kepada kelompok pande besi yang diganggu oleh salah seorang tokoh yang bernama Arya Cengceng.
Hasil-hasil ekskavasi di situs Tamblingan antara lain berupa artefak dan ekofak yang sebagian besar mengacu pada aktivitas yang terkait dengan pengolahan logam. Berbagai artefak hasil ekskafasi terdapat kesejajaran informasi dalam prasasti tentang kelompok perajin logam dengan berbagai hasil produksinya. Keberadaannya didukung oleh berbagai informasi yang dimuat dalam prasasti yang ditemukan dekat situs Tamblingan dan juga prasasti-prasasti lain yang sudah ditemukan sebelumnya yang memuat informasi serupa.
Narasumber kedua adalah I Nyoman Rema, Peneliti PR APS BRIN yang memaparkan penelitiannya yang berjudul Siwa Buddha Tattwa Dalam Prasasti Bali Kuno Abad VIII-XI. Dalam penelitiannya, Nyoman Rema melihat dalam prasasti Bali Kuno, baik yang berbahan tanah liat maupun berbahan tembaga memiliki dimensi ekonomi, dimensi sejarah, dimensi sosial, dan lain sebagainya. Salah satu dari dimensi prasasti tersebut adalah dimensi keagamaan. “Dimensi keagamaan yang dimaksud ada dalam bentuk ajaran dan ada juga yang dituangkan dalam bentuk hukum,” jelas Nyoman Rema.
Sedangkan narasumber ketiga adalah Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Dosen Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Puji Laksmi memaparkan penelitian yang berjudul Sebaran Pemukiman Pada Masa Bali Kuno Abad IX-XIV di Kabupaten Tabanan Berdasarkan Kajian Prasasti dan Toponimi.
Sejak manusia mulai hidup menetap, pemukiman menjadi suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pada awalnya, pemukiman yang dibangun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik. Namun, dalam perkembangannya pemilihan dan kepemilikan pemukiman berkembang menjadi kebutuhan psikologis, estetika, status sosial, dan ekonomi.
Puluhan pemukiman yang tercatat pada masa Bali Kuno abad IX-XIV M berkembang di bawah kekuasan raja-raja yang berkuasa pada masa itu. “Hanya saja pemukiman-pemukiman yang sering menjadi tujuan riset adalah pemukiman yang saat ini masih berlanjut dalam artian terlihat nyata masih kuno,” jelas Puji Laksmi.
Berdasarkan penelusuran terhadap peta-peta lama dan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), terdapat lima wilayah yang masih dapat ditelusuri toponim-toponimnya. Kelima wilayah tersebut adalah Desa Timpag, Bantiran, Batungsel, Bantunya, dan Mayungan. Lokasi pemukiman erat kaitannya dengan keberadaan danau dan daerah aliran sungai karena merupakan daerah yang sangat subur dan potensial sebagai daerah pertanian. (timur)