WartaPenaNews, Jakarta – Hingga hari ke dua, Kamis, 2 Januari 2020 masih banyak masyarakat yang terdampak banjir belum mendapatkan pertolongan evakuasi dan penanganan maksimal di pengungsian. Hal ini ditengarai minimnya anggaran dana yang dimiliki Pemprov DKI.
Fakta menarik diungkap oleh Nirwono Yoga, Dosen dan Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Jakarta, “Anggaran penanggulangan banjir ternyata tidak mencukupi dan lebih kecil dari revitalisasi trotoar.
Sudah Kecil Masih Dipangkas Lho
Anggaran banjir tahun 2020 pemerintah DKI hanya Rp. 600 milyar, inipun masih harus dipangkas sekitar 250 – 300 milyar untuk dialokasikan sebagai penggantian pembebasan lahan tahun 2019.
Bandingkan dengan anggaran untuk revitalisasi trotoar yang diketok palu sebesar 1,4 triliun, jauh lebih besar dengan urgensi masih di bawah permasalahan banjir.
Menurut Yoga, ketimpangan anggaran tersebut harusnya dikaji ulang, serta direvisi oleh Pemrov DKI dan DPRD, mengingat banjir merupakan permasalahan klasik yang belum mampu diurai permasalahannya oleh setiap rezim penguasa.
Banjir menjadi fenomena klasik yang kejadiannya selalu berulang serta menimbulkan trauma. Dampaknya sangat besar, tidak hanya kerugian materi tetapi hilangnya kenyamanan, dan nyawa masyarakat wajib dipikirkan dan diantisipasi oleh Pemprov tanpa kompromi.”
“Harusnya Pemprov dan DPRD memprioritaskan kepentingan masyarakat secara luas dari dampak banjir, walau revitalisasi trotoar juga penting, “ujar Yoga.
Lebih lanjut Yoga menyampaikan sebanyak 60 persen wilayah DKI Jakarta terdampak banjir berpusat di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Ke dua wilayah ini memang paling banyak menyalahi tata kelola lingkungan.
Lahan yang diperuntukan sebagai resapan air serta bantaran kali, dijadikan hunian dan pusat bisnis.
Selain faktor lain, buruknya drainase yang sering diabaikan oleh Pemprov, pengembang dan masyarakat. Salah satu wilayah terdampak banjir parah adalah Kemang, Jakarta Selatan.
Wilayah Kemang yang dialiri kali Krukut, awalnya memang diperuntukan sebagai kawasan hijau dan resapan air. Andai untuk hunian, jumlah bangunannya pun dibatasi. Tidak seperti sekarang, banyaknya pemukiman dan pusat bisnis yang dibangun serampangan tanpa mengindahkan tata kelola lingkungan yang benar dan bijak.” (bud)