WartaPenaNews, Jakarta – Warga dunia kini sedang berada di tengah pusaran krisis dampak pandemi Covid-19. Bukan hanya masalah kesehatan dan ekonomi tapi juga krisis psikologis. Konsekuensi pandemi punya impak berbeda-beda bagi tiap individu. Tapi ada satu dampak yang sama bagi semua: ketidakpastian.
Dan orang tidak suka ketidakpastian. Mereka ingin tahu, apa yang akan terjadi kemudian dan bagaimana? Serta apakah semua hal harus dilakukan secara berbeda dari saat sebelum pandemi?
Kondisi seperti inilah yang menghidupkan teori konspirasi di saat terjadi krisis. Pasalnya, teori konspirasi dan berita palsu selalu menawarkan penjelasan yang gampang dicerna terkait kekacauan dan ketidakpastian yang seolah tanpa akhir.
Di saat normalitas yang dikenal banyak orang serasa makin menjauh dari keseharian, biasanya orang-orang cenderung mengikuti narasi yang mengklaim tahu apa atau siapa penyebab krisis.
Kapan teori bisa digolongkan konspirasi?
Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan simpel ini. “Pasalnya hingga kini tidak ada konsensus ilmiah untuk mendefinisikan apa teori konspirasi itu“, ujar Roland Imhoff, ahli psikologi dari Universitas Johannes Gutenberg di Mainz, Jerman.
Imhoff mengatakan dalam wawancara dengan DW, bagi dia teori konspirasi itu adalah; “Asumsi bahwa sebuah peristiwa yang memiliki cakupan besar, yang dipicu rencana beberapa gelintir orang yang ingin mengeruk keuntungan dan memperkaya diri dengan mengorbankan masyarakat“
Kadang teori konspirasi punya penjelasan yang masuk akal terkait proses sebuah peristiwa. Salah satunya yang dicatat sejarah adalah fabrikasi tentang “Protocols of the Elders of Zion,”yang diduga dibuat oleh dinas rahasia Tasar di jaman kekaisaran Rusia. Teori konspirasianti Semit ini kemudian dijadikan pembenaran oleh Adolf Hitler untuk membasmi kaum Yahudi lewat Holocaust.
Cek fakta!
Untuk mengenali teori konspirasi, gunakan standar ilmiah. “Dalam sains sangat jarang ada kebenaran absolut. Yang ada penjelasan masuk akal dan konfirmasi empiriknya dalam derajat yang berbeda-beda“, papar Imhoff kepada DW. Sebagian besar teori konspirasi biasanya sangat tidak masuk akal.
Poin pertama konfirmasi, cek sumbernya. Siapa yang mengatakannya, kapan dan di mana? Apakah CNN, The Guardian atau Deutsche Welle? Atau via media sosial, YouTube, grup WhatsApp, Twitter, grup Facebook dan sejenisnya? Bahkan ada yang bergelar Doktor, tapi tanpa menyebut publikasi ilmiah sumbernya.
Tidak ada faktor kebetulan
Dalam naratif teori konspirasi tidak pernah ada pesitiwa yang terjadi secara “kebetulan“. Pasalnya mayoritas orang tidak suka pada faktor kebetulan. Karena hal itu tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dikendalikan.
“Karena itu para pencetus teori konspirasi sering mengkait-kaitan sesuatu yang tidak ada hubungannya dan berbelit-belit, agar terdengar masuk akal dan bukan faktor kebetulan“, ujar ahli psikologi Imhoff.
Misalnya di Jerman kini muncul teori konspirasi, bahwa Menteri Kesehatan Jens Spahn dulu ikut Leadership Program yang dibayai sebuah bank, dimana salah seorang kerabat jauh dari salah seorang pamannya bekerja pada seorang perempuan yang dulu pernah bekerja untuk Bill Gates.
Tidak perlu logika
Para pencetus berita palsu, hoaks atau teori konspirasi juga tidak perlu narasi logis. “Pasalnya, para pengikut mereka juga tidak perlu logika atau bahkan tidak peduli logika yang bertabrakan,” ujar Imhoff menyitir salah satu riset yang ia kerjakan. (mus)