WartaPenaNews, Jakarta – Beberapa pemerintah daerah masih menutup sebagian besar sekolah seiring terus bertambahnya jumlah kasus positif Covid-19. Ini artinya, proses belajar mengajar tetap dilakukan secara daring.
Tidak bisa dipungkiri, kebijakan ini memberikan beban lebih kepada orang tua siswa. Lalu, bagaimana dengan orang tua penyandang disabilitas?
Popon Siti Latipah, salah satunya. Popon dan suaminya, Irvan Arimansyah, adalah pasutri tunanetra yang dikaruniai seorang anak perempuan dengan kondisi mata yang sehat.
Anak mereka, Aksa (bukan nama sebenarnya untuk melindungi identitasnya), mengenyam pendidikan di salah satu sekolah dasar di Kota Bandung. Selama belajar daring, anak usia delapan tahun ini hanya didampingi ibunya, Popon.
Bagi seorang tunanetra, mendampingi anak belajar daring bukan perkara gampang. Kondisi penglihatannya yang nol persen, membuat perempuan 34 tahun ini kebingungan menghadapi hari demi hari selama proses pembelajaran jarak jauh (PJJ). Ia mengaku mengalami tekanan psikologis.
“[Saya] merasa nggak optimal mengajar anak. Hampir tiap pagi, psikologinya sudah terganggu duluan. `Duh, hari ini ngapain yah? Materinya apa? Bisa nggak yah menyampaikannya?` Itu setiap hari mikir begitu. Ada perasaan waswas,” ungkap Popon kepada Yulia Saputra, wartawan di Bandung yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Kehilangan anaknya yang meninggal, seorang ibu berupaya menyebarkan kebaikan dengan menyediakan internet gratis bagi pelajar
Pemerintah `buka sekolah` di zona kuning dan siapkan `kurikulum darurat` di masa pandemi
Siswa sekolah `tertinggal` secara akademik karena pandemi, orang tua: `Saya pilih anak selamat`
Perasaan waswas muncul lantaran Popon merasa tidak optimal mengajar Aksa. Ia khawatir anaknya bakal tertinggal pelajaran, ketika sekolah kembali dibuka.
“Kalau di sekolah, kita sudah percaya ke gurunya. Paling kita tinggal mengulang. Kalau ini tanggung jawabnya ada di kita, gurunya hanya sekadar mengarahkan.
“Ada kekhawatiran, ketika [kembali] bertatap muka anak kaget dengan materi yang sekarang.â€
“Di saat kita ingin memberikan yang terbaik buat anak, kita terkendala keadaan,” tutur Popon yang merasa kesulitan, bahkan untuk sekadar mengajarkan anaknya membuat garis lurus.
Merasa kebingungan
Popon pernah merasa kebingungan, saat anaknya ditegur guru karena membuat tabel dengan garis yang tidak lurus.
Padahal, anaknya sudah memakai penggaris setiap membuat tabel. Setelah tiga kali ditegur, Popon mengadu ke orang tua murid lain dan disarankan membeli penggaris baru.
“Eh tahunya benar dari penggaris masalahnya. Soalnya aku sekolah, dari kelas 4 SD sampai kuliah, nggak pernah punya pengalaman pakai penggaris. Makanya bingung. Kirain penggaris kalau sudah lama, masih tetap bagus,” kata Popon.
Ada terselip rasa minder dalam diri Popon ketika berbicara dengan orang tua murid lain yang nondifabel. Padahal, secara pendidikan, Popon sempat menempuh Pendidikan Luar Biasa di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Ia malah sempat menjadi guru SLB. Tapi, justru kesulitan menjadi guru bagi anaknya.
“Sangat (minder). Orang tua lain, misalnya mereka hanya (lulusan) SMA, tidak mengenal pengalaman kuliah.
“Sementara saya kuliahnya di keguruan dengan kondisi seperti ini, tidak bisa menjadi guru yang baik buat anak.
“Soalnya konsep dan metodenya beda. Jadi sempat mikir kalau yang lain tinggal lihat buku saja sudah bisa ngejelasin sama anak, kalau saya bagaimana bisa?” ucapnya. (mus)