WartaPenaNews, Jakarta – Masyarakat dunia dan netizen Indonesia yang sedang gandrung bermain
TikTok cukup resah dengan berbagai isu miring terkait aplikasi media
sosial berbasis video dari China ini. TikTok seperti halnya Huawei juga
ikut terseret dalam perang dagang serta urat syaraf AS-China, dituduh
menjadi alat spionase pemerintah China. Apalagi sekarang adanya
persaingan Big Data yang membuat siapapun pemilik platform populer bisa
membantu mengendalikan dunia. Misalnya data Facebook digunakan untuk
memenangkan Donald Trump saat pilpres AS dan kubu Brexit di Inggris.
Tiktok menarik perhatian sudah sejak lama, bahkan Mark Zuckerberg
menyatakan TikTok bisa melewati Instagram. Nyatanya Tiktok dua tahun
terakhir memang berhasil mengalahkan Instagram dengan total lebih dari
625 juta unduhan.
Dalam keterangannya Sabtu (25/7), pakar keamanan siber Pratama Persadha
menjelaskan bahwa peningkatan pengguna TikTok yang sangat cepat juga
terbantu oleh pemerintah China yang melarang Instagram dan Facebook
beroperasi di China. Akibatnya pemakai tiktok di China menjadi sangat
besar, pada akhirnya Tiktok sekarang mengglobal dengan total download
mencapai lebih dari 1,65 miliar. Bahkan Tiktok dalam waktu dekat akan
merilis model monetize atau kerjasama iklan sehingga usernya bisa
mendapatkan pemasukan seperti di Youtube dan Facebook.
Selain itu salah satu hal yang dianggap sebagai keunggulan TikTok oleh
para pemakainya adalah karena platform tersebut tidak mengenal
copyright. Akibatnya pengguna bisa memakai berbagai musik dan video
tanpa khawatir terkena take down seperti di FB, IG dan Youtube. Namun
ditengah melambung namanya, TikTok terkena larangan instal dan
beroperasi di kawasan Amerika Serikat dan India, dengan alasan keamanan.
“Uni Eropa melakukan pengawasan ketat data TikTok kemana saja dan akan
diolah seperti apa, tidak sampai melarang seperti di AS. Pertama yang
selalu dicek adalah privacy policy. Hal dimana zoom juga tersandung
karena ada perihal pengumpulan data yang tidak disampaikan di privacy
policy,†jelas chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC
(Communication & Information System Security Research Center) ini.
Tuduhan terhadap TikTok memang cukup serius, tidak hanya sebatas
collecting data di aplikasinya, tetapi juga dicurigai ada aliran data
pengguna ke China. Akhirnya CISSReC melakukan riset dan analisis
terhadap aplikasi Tiktok ini. Dari hasil analisis CISSReC, aliran data
TikTok secara umum tidak ada yang mencurigakan. Contohnya alamat ip
161.117.197.194 yang menuju singapura, lalu 152.199.39.42 menuju
amerika. Bahkan saat dites dengan malware analysis yang menggunakan
sample dari 58 vendor antivirus, malware juga tidak ditemukan.
“Saat kami coba cek dengan malware analysis, tidak ada aktivitas
mencurigakan saat menginstal TikTok, tidak ada malware yang bersembunyi.
Bila memang mengandung malware, sebenarnya bukan hanya AS yang akan
melarang TikTok, tapi Google akan menghapus TikTok dari playstore
mereka. Tapi hal ini juga tidak dilakukan Google,†terang pria asal Cepu
Jawa Tengah ini.
Di Eropa yang dilakukan adalah pengawasan data, karena menjadi perhatian
serius bagi masyarakat dunia, berbagai tuduhan bahwa TikTok digunakan
spionase. Sebenarnya hal yang sama juga bisa diarahkan ke AS, apalagi AS
memiliki aturan Foreign Surveillance Act yang memungkinkan pihak aparat
di AS untuk masuk dan mengambil data raksasa Teknologi.
“Yang paling masuk akal dilakukan adalah, para pejabat penting dan
lingkarannya jangan bermain TikTok, bila memang khawatir. Bila
masyarakat mau memakai sebenarnya tidak ada masalah. Namun bila memang
ada kebutuhan para pejabat serta politisi untuk branding diri atau
lembaga, sebaiknya menggunakan gawai yang berbeda dari gawai yang
sehari-hari digunakan,†jelasnya.
Ditambahkan Pratama, TikTok seperti platform internet lainnya tetap
menyimpan dan mengolah data pengguna. Hal inilah yang dicurigai oleh AS
dan Eropa, kekhawatiran data pengguna serta aplikasi TikTok digunakan
untuk mata-mata. Tetapi kalau dulu kita ingat ada aplikasi game pokemon,
ternyata tuduhannya sebagai aplikasi mata-mata juga tidak terbukti.
Malah isu-isu besar seperti ini sebenarnya mungkin dimanfaatkan menjadi
sarana promosi gratis aplikasi-aplikasi tersebut.
“Sebenarnya layanan Facebook, Google, Instagram dan semacamnya juga
melakukan berbagai pengumpulan data. Misalnya dalam kasus Cambridge
Analytica, data pengguna Facebook dipotimasi untuk membuat Donald Trump
dan kubu Brexit di Inggris menang dalam pemilihan,†tegasnya.
Pratama menyarankan untuk mengatur pengamanan pengaturan privasi
pengguna di masing- masing gawai lewat permission di tiap aplikasi.
Permission adalah permintaan dari aplikasi untuk kebutuhan aplikasi,
yang muncul dengan sederet keterangan, meminta akses kamera, mikropon,
telepon, log dan lainnya.
Kebanyakan pengguna meremehkan, menganggap pesan tersebut hanya
informasi saja padahal sangat penting. Berikut cara menyeting pengaturan
untuk permission pada aplikasi TikTok yang juga bisa digunakan untuk
aplikasi lainnya :
-Klik dibagian Setting
-Klik Apps
-Pilih TikTok
-Lalu pilih App permissions
-Lihat bagian yang diakses untuk kamera, kontak, lokasi, ruang
penyimpanan, dan lainnya. Kita bisa menggeser nya untuk menonaktifkan
ijin aplikasi dan mengubah akses perangkat. (cim)