WartaPenaNews, Jakarta – Pandemi COVID-19 yang melanda sejak lebih dari empat bulan lalu, berimbas tidak hanya pada sisi kesehatan, namun juga berdampak buruk pada dunia ekonomi.
Bahkan, kondisi ini juga telah memberikan efek negatif pada kondisi psikis seseorang.
Pengamat psikologi dari Universitas Pancasila (UP), Silverius Y. Soeharso menyebut, tingkat depresi hingga stres telah mengalami lonjakan selama masa pandemi. Itu terjadi, hampir merata di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
“Datanya belum kami hitung secara detail, tetapi kemungkinan besar terjadi peningkatan, ya kira-kira sekira 0,1 persen sampai 0,5 persen,†katanya.
Kasus ini, lanjut Silverius, juga berimbas pada kehidupan rumah tangga. Ia menyebut, ada peningkatan kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama masa pandemi.
“Tingkat perceraian meningkat, memang risetnya beda-beda. Wuhan saja hampir sekira 300 keluarga minta cerai. Di kita ada, tetapi datanya masih terus diperbaharui, tapi saya yakin meningkat terus.â€
Dia menjelaskan, ada beberapa faktor pemicu dari meningkatnya kasus tersebut. Salah satunya adalah kejenuhan. Puncaknya, ketika pemerintah memberlakukan protokol Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengharuskan kerja dari rumah.
“Makanya, Pak Presiden mengeluarkan kebijakan bisa keluar, tetapi ke wisata alam, contoh Taman Safari sudah dibuka dan beberapa taman nasional lainya.â€
Silverius mengatakan, biasanya faktor pemicu dari tingginya kasus perceraian, stres dan depresi adalah ekonomi.
“Interaksi yang rutin di dalam rumah karena WFH, akhirnya sifat aslinya muncul. Apalagi, sempat tiga bulan enggak keluar rumah, ini akan mudah jenuh dan akhirnya sifat aslinya muncul dan menyebabkan konflik.â€
Untuk mencegah kasus tersebut, Dekan Fakultas Psikologi UP ini menyarankan, untuk melakukan refreshing. “Tapi ke tempat atau wisata alam, agar fresh.†(mus)