7 May 2024 - 17:30 17:30

Cegah Korupsi , Penyelenggara Pemilu Harus Punya Strategi Jitu

Jakarta, WartaPenaNews – Ikatan Sarjana NU (ISNU) DKI Jakarta mengadakan Diskusi Tematik Online bertajuk ‘Mencegah Korupsi Politik Dalam Pilkada Serentak 2020’ pada Jumat 4 Desember 2020. Diskusi ini menghadirkan Ketua Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) RI Abhan dan Eks Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah.

Moderator diskusi Tjoki Aprianda Siregar menyampaikan, diskusi ini diadakan mengingat Pilkada Serentak 2020 akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Dia pun mengajak masyarakat untuk mendukung digelarnya pesta demokrasi ini supaya berjalan lancar dan aman.

“Pilkada perlu didukung sebagai warga negara yang baik. Semoga berjalan lancar dan baik Pilkada Serentak ini,” kata Tjoki di Jakarta, Jumat (4/12/2020).

Ketua Bawaslu Abhan menyampaikan, tiap pemilu pasti memiliki potensi terjadinya korupsi politik. Menurut Abhan, korupsi politik adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan politik.

Abhan melanjutkan, korupsi politik terjadi ketika politisi atau badan negara yang memiliki kewenangan membuat undang-undang melakukan praktik korupsi. “Dalam definisi yang lebih tegas, korupsi politik mencakup pembuatan kebijakan politik,” kata Abhan.

Menurut Abhan, bentuk-bentuk korupsi politik yakni penyuapan, pembelian suara, dan nepotisme.

Sementara itu, Febri Diansyah menilai, potensi korupsi politik akan tetap terbuka lebar selama lembaga penyelenggara pemilu tidak memiliki strategi jitu untuk meminimalisir praktik itu.

Febri menyampaikan, salah satu isu yang perlu menjadi fokus penyelenggara pemilu yakni aliran dana kampanye calon kepala daerah. Menurut Febri, penyelenggara pemilu tidak bisa begitu saja menerima laporan aliran dana kampanye calon kepala daerah. Penyelenggara pemilu perlu menelisik lebih jauh potensi korupsi dari aliran dana tersebut.

Hal itu perlu dilakukan mengingat banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi karena sebelumnya mendapatkan bantuan dana kampanye dari para cukong.

“Tentu bantuan dana itu tidak gratis. Saat menjadi kepala daerah, dia akan mengambil keputusan dan mengalokasikan anggaran yang berpotensi menimbulkan korupsi, hal itu berangkat dari memfasilitasi cukong-cukong yang mendanai mereka dari pemilu,” kata Febri.

Menurut Febri, banyaknya kasus korupsi politik itu yang membuat angka Corruption Perception Index (CPI) 2019 untuk Indonesia masih kecil, yakni 40 poin. Poin ini, kata Febri, masih sangat jauh jika dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia.

Febri menjelaskan, CPI menunjukan persepsi internasional terhadap praktik dan penanganan korupsi di Indonesia. Ada 9 hal yang menjadi indikator dalam CPI. Tiga di antaranya masih menunjukan hasil yang kurang memuaskan.
Tiga indikator itu yakni World Justice Project dengan nilai 21 poin, Varities Democracy dengan nilai 28, dan Political Risk dan Economic Survey sebesar 36 poin. Febri menjelaskan, untuk World Justice Project berkaitan dengan proses penegakan hukum menangani korupsi di Indonesia.

Sedangkan, dua sisanya berada di sektor politik yang menjadi masalah serius karena berhubungan dengan sejumlah aspek seperti korupsi politik, pendanaan politik, dan dinasti politik.”Dua indeks itu sangat krusial, karena itu CPI memberikan 7 rekomendasi, 3 di antaranya terkait isu politik,” kata Febri.

Febri pun menjelaskan 3 rekomendasi CPI untuk menangani permasalahan korupsi politik di Indonesia. Pertama, pengawas pemilu harus mengetahui calon kepala daerah mendapatkan dana kampanye dari pihak mana.

“Kedua, memperkuat integritas pemilu. Pemilu bukan hanya demokrasi formiil untuk memfasilitasi calon kepala daerah menduduki jabatan publik. Namun, pemilu harus bersifat materiil dan subtansial. Seperti isu seberapa maksimal lembaga penyelenggara pemilu bisa punya strategi dan melakukan pengawasan secara subtansial untuk meminimalisi politik uang,” kata Febri.

“Ketiga, mengatur tentang keterbukaan politik dan mengatur keterbukaan lobi politik. Ini bisa dikaji lebih jauh, apa yang terjadi di Indonesia dengan negara lainya. Seperti isu konflik kepentingan dan memperkuat checks and balances,” lanjut Febri.

Febri Diansyah pun mengajak masyarakat untuk memilih calon kepala daerah yang memiliki integritas yang tinggi dan anti korupsi. Dia mengingatkan masyarakat tidak memilih calon kepala daerah yang pernah terjerat kasus korupsi.
Aktifis anti korupsi ini pun mewanti-wanti supaya masyarakat tidak terpikat dengan praktik politik uang dilakukan calon kepala daerah.

Jika calon kepala daerah sudah melakukan praktik uang, maka saat menjabat calon kepala daerah itu berpotensi melakukan tindak pidana korupsi. “Itu adalah masalah serius, sehingga dia tidak pantas dipilih. Dan potensi saat menjabat dalam melakukan korupsi sangat tinggi,” pungkasnya. (rob)

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait

|
6 May 2024 - 12:17
Rafah Diserang Israel, 19 Warga Gaza Tewas

WARTAPENANEWS.COM – Israel menyerang Rafah di selatan Gaza pada Minggu (5/5). Aksi Israel adalah tindakan balas dendam atas serangan roket sayap militer Hamas yang menewaskan tiga tentara IDF. Menurut pejabat

01
|
6 May 2024 - 11:14
Pagi Tadi, Gunung Semeru Kembali Erupsi

WARTAPENANEWS.COM – Gunung Semeru yang terletak di Lumajang "batuk" pagi ini, Senin (6/5). Gunung tersebut memuntahkan kolom abu setinggi 700 meter dari atas puncaknya. "Terjadi erupsi Gunung Semeru pada hari

02
|
6 May 2024 - 10:16
Ada Tumpahan Oli, Jalan Juanda Depok Macet Parah

WARTAPENANEWS.COM – Jalan Juanda dari arah Cisalak ke arah Margonda, Depok, macet parah tadi pagi, Senin (6/5) sekitar pukul 08.00 WIB. Ada tumpahan oli jalan dekat Pesona Square Mal. Pantauan

03