9 June 2025 - 11:05 11:05
Search

Didik J Rachbini; Ini 7 Faktor Kegagalan Kebijakan Pengendalian Covid-19 di RI

WartaPenaNews, Jakarta – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Prof. Dr. Didik J. Rachbini mengatakan, perlu ditelaah dan diambil pelajaran, apa penyebab Indonesia jadi epicentrum baru pandemi Covid-19 di dunia. Setidaknya ada 7 faktor penyebab kegagalan kebijakan pengendalian Covid-19, yaitu:

Pertama, pemerintah memulai dengan respons lengah, eskapis, denials. Komunikasi pemerintah kepada masyarakat ihwal kebijakan penanganan pandemi buruk. Infomasi tidak jelas dan membuat kebingungan masyarakat.

“Ketika di awal pandemi, ada puluhan komunikasi pejabat publik membingungkan, seperti Covid-19 tidak berkembang di tropis, Covid-19 pakai nasi kucing, susu kuda liar, dll,” ujar Didik membacakan hasil kesimpulan acara webinar yang digelar Paramadina Public Policy Institute, Selasa (27/7/2021).

“Hal inilah yang membuat Indonesia kehilangan golden time yang seharusnya jika ditangani dengan tepat, akan meminimalisir dampak buruk pada hari ini,” sambung Didik.

Kedua, lanjut Didik, aspek organisasi, yaitu penanganan pandemi Covid-19 tidak jelas koordinasinya. Terlalu gemuk dan dikerjakan secara partime sebagai kerja sambilan dari kerja utama di kementerian. Hal itu semua adalah cermin dari produk kepemimpinan yang lemah dan tidak kredibel.

“Tidak berani lockdown, tidak efektif. Padahal kepemipinan di masa krisis amat berbeda ketika di masa normal. Kepemimpinan di Indonesia jelas sedang diuji,” terang Didik.

Selanjutnya, dia menilai kepemimpinan di semua level bermasalah. Komando tidak satu arah tapi banyak arah dan membingungkan. Pimpinan lembaga untuk pengendalikan covid berganti-ganti. Bahkan sejak awal juga bahkan ada friksi pusat dan daerah.

“Selanjutnya kebijakan ekonomi lebih menjadi pilihan utama di masa pandemi. Porsi anggaran kesehatan di APBN justru sedikit dan terabaikan. Prioritas menjadi terbalik balik dan salah kaprah,” terang Didik.

Kemudian, kelima, komitmen kepada mitra, tenaga kesehatan dan rumah sakit sebagai mitra dan stakeholder, amat lemah. Nakes dan rumah sakit banyak yang belum dibayar. Nakes banyak terpapar. Obat-obatan hilang dari pasaran.

Keenam, data resmi terlalu berbeda, sangat terlalu rendah, tidak mencerminkan data sesungguhnya di lapangan. Tetapi masalahnya pemerintah hanya mengambil data resmi yang justru tidak sesuai data lapangan.

“Hasil riset Djayadi Hanan, Ph.D dosen Universitas Paramadina menyebutkan 10 persen keluarga sampel di Indonesia telah terpapar Covid-19. Hal itu berarti yang terkena bisa 10-15 juta orang,” jelas dia.

Terakhir, anggaran untuk PEN ekonomi mayoritas non kesehatan dan jauh dari memadai untuk kesehatan. Dana PEN Rp690 triliun kebanyakan untuk membenahi ekonomi.

“Karenanya tidak heran jika muncul masalah nakes tidak dibayar, oskigen bermasalah, rumah sakit belum dilunasi. Terjadi penggelembaungan dana dengan utang yang sebagiannya merupakan produk perburuan rente,” tutup Didik. (rob)

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait