WartaPenaNews, Jakarta – Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) Marwan Cik Asan mengaku khawatir dengan kondisi utang negara yang saat ini sudah mencapai Rp6 ribu triliun. Jika tidak ada langkah-langkah strategis untuk mencegahnya semakin membengkak, maka keuangan negara bisa kolaps.
“Ini kondisi yang mengerikan. Karena rasio utang telah mencapai 39,46 persen. Jika utang pemerintah digabungkan dengan utang BUMN maka total utang mencapai Rp 12.269,63 triliun, dengan rasio utang mencapai 79,5 persen dari PDB. Ini bisa membuat keuangan negara kolaps,†kata Marwan kepada wartawan, Selasa (27/4).
Dia menambahkan bahwa dengan kondisi utang Rp 6 ribu triliunan dan 85,90 persen merupakan SBN, serta 14,10 persen berupa pinjaman, maka kondisi keuangan negara layak dikhawatirkan.
Memang secara umum, kata Marwan, posisi utang pemerintah masih dapat dikatakan aman jika merujuk pada batas 60 persen yang ditetapkan UU. Namun jika digabungkan dengan utang BUMN, rasionya telah melampaui ketentuan UU.
“Ini menunjukkan pemerintah sudah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayar bunga utang, sehingga pembayarannya dilakukan melalui penarikan utang baru,†sambung sekretaris Fraksi Partai Demokrat itu.
Marwan menambahkan, faktor lain yang perlu diwaspadai adalah biaya jjutang yang semakin mahal. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal, untuk utang jangka waktu 10 tahun mencapai 6,72 persen, lebih tinggi dibandingkan imbal hasil Jepang hanya 0,03 persen, China 2,99 persen, Thailand 1,29 persen, dan Malaysia 2,5 persen.
Aspek krusial lain yang perlu dicatat, masih kata Marwan, yakni rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB juga semakin menurun.
“Rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB mencapai 19,8 persen tahun 2008, tertinggi sejak tahun 2000. Tapi terus menurun menjadi 15,4 persen tahun 2014, 12,4 persen pada 2019, dan 10,6 persen di tahun 2020. Rasio yang rendah tersebut menunjukkan bahwa kondisi fiskal dan keuangan pemerintah sulit untuk dipertahankan,†katanya.
Ia melanjutkan, dua aspek lain yang harus diwaspadai adalah porsi kepemilikan asing dalam SBN semakin besar dan peningkatan jumlah utang BUMN serta potensi gagal bayar.
“Ini berpotensi mempengaruhi kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang,” pungkasnya. (rob)