9 June 2025 - 21:17 21:17
Search

Harga Daging Sapi Mahal di Pasaran, Ini Penyebabnya

wartapenanews.com – Jelang Bulan Ramadan harga daging sapi mengalami kenaikan yang cukup drastis. Hingga hari ini, harga daging sapi berada di kisaran Rp 140 ribu – Rp 150 ribu per kilogram.

Lantas apa penyebab meroketnya harga daging sapi di Indonesia?
Menjawab hal itu, Pakar Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof Dr Budi Utomo drh Msi, mengatakan, meroketnya harga daging sapi di Indonesia dipicu oleh faktor kebijakan Australia yang mengurangi ekspor sapi bakalan (sapi hidup) ke Indonesia karena masih dalam pemulihan populasi. Sementara sapi di Indonesia sedang terserang wabah Lumpy Skin Disease (LSD).

“Penyakit itu ditemukan di Provinsi Riau, yang sebelumnya terjadi di negara Asia termasuk Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Myanmar, Laos, dan Kamboja,” ucapnya, Rabu (23/3).

Prof Budi menjelaskan tanda klinis Lumpy skin disease bermacam-macam. Seperti lesi kulit, demam, pengurangan nafsu makan hingga kematian pada sapi. Untuk penularannya melalui vektor serangga (nyamuk dan kutu) sehingga sangat rentan menyerang ternak lain.

“Jangan sampai vektor penyakit ini terikut oleh kendaraan pengangkut ternak. Utamanya kapal ternak yang dipakai buat mengangkut ternak dari dan ke Australia,” jelasnya.

Di samping itu, ketidakcukupan daging sapi juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan peternak dan inseminator. Pasalnya ketersediaan indukan sapi masih banyak.

Akan tetapi inseminasi buatan atau kawin suntik juga harus digencarkan untuk memperbanyak anakan. Dalam hal ini, komitmen pemerintah dalam mendongkrak populasi sapi di Indonesia melalui Program Upaya Khusus Sapi Induk Wajib bunting (UPSUS SIWAB).

Namun, Prof Budi menilai program itu belum berjalan dengan lancar. Karena masih banyak yang mengalami gangguan reproduksi, seperti hipofungsi ovarium. Yaitu, suatu kejadian ovarium mengalami penurunan fungsi sehingga tidak dapat terjadi ovulasi.

“Hipofungsi menyebabkan tidak terjadinya ovulasi sehingga berahi tidak terjadi dan ujungnya ternak tidak dapat menghasilkan pedet (anakan sapi),’’ sebutnya.

Dari dua penyebab di atas, Prof Budi berharap adanya upaya peningkatan kewaspadaan. Seperti halnya memperketat biosecurity yakni tindakan pertahanan pertama, pencegahan, dan pengendalian masuknya wabah agar aman.

“Terutama bagi negara-negara yang terdeteksi penyakit lumpy skin maupun negara-negara sekitarnya. Selain itu juga memperketat rantai pasar yang sangat panjang dari peternak hingga konsumen akhir,” tambanya.

Ia juga meminta pemerintah mengeluarkan regulasi terkait sapi lokal. Sementara pihak akademisi dan Balai Penelitian Pengembangan (Balitbang) bisa mengembangkan sapi lokal unggul, dan diperkuat oleh pihak swasta terkait pemberdayaan korporasi peternakan sapi lokal di daerah-daerah.

“Dengan kolaborasi tersebut, pemenuhan daging sapi lokal Indonesia dapat tercapai. Sehingga tidak ada lagi ketergantungan impor sapi bakalan maupun daging luar negeri,” pungkasnya. (mus)

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait