Jakarta, WartaPenaNews – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal telah terbit sebagai komitmen Pemerintah dalam rangka mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Mandatory sertifikasi halal sesuai Pasal 67 ayat (1)
akan dimulai pada tanggal 17 Oktober 2019.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Dr H Ikhsan Abdullah, SH, MH mengatakan, saat ini masyarakat dan dunia usaha serta pegiat halal menunggu bagaimana kewajiban sertifikasi halal dijalankan sesuai Undang-Undang. Alasannya, hingga saat ini belum ada satupun Auditor Halal yang dihasilkan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), baik itu Auditor Halal yang dimiliki oleh LPPOM MUI yang telah disertifikasi sebagaimana Pasal 14 ayat (2) huruf f UU JPH.
“Keberadaan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang akan melakukan pemeriksaan terhadap
produk yang di sertifikasi juga belum jelas. Disamping bentuk entitasnya yang berbadan hukum seperti apa dan bagaimana bentuk kerjasama dengan lembaga keagamaan, eksistensi LPH harus mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI,” ujar Ikhsan Abdullah di Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Menurutnya, sejauh ini belum ada satupun LPH yang terakreditasi. Padahal saat ini Indonesia sedang menjadi perhatian dunia, karena negara terbesar berpenduduk 87% muslim tetapi perkembangan industri halal masih di bawah rata-rata negara lain. Bahkan posisi Indonesia jauh tertinggal dibawah negara Malaysia yang memiliki badan halal dengan nama Malaysia Jabatan Kemajuan Islam (JAKIM).
“Otoritas JAKIM berada langsung di bawah Perdana Menteri selaku kepala pemerintahan sehingga menjadi selevel dengan kementerian,” ujarnya.
Oleh karena itu, sambung Ikhsan, Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia sangat perlu memiliki badan khusus untuk mengurusi industri halal yang langsung bertanggung jawab dibawah Presiden sehingga dapat melakukan hubungan kelembagaan antar kementerian sekaligus
dapat melakukan eksekusi. Dengan lembaga dibawah di bawah Presiden langsung maka diharapkan mampu mendorong Indonesia menjadi pusat Industri halal dunia.
Ikhsan menuturkan, saat ini keberadaan BPJPH selevel Eselon 1 dibawah Kementerian Agama sehingga , posisinya dibawah 1 level dalam Senior Official Meeting. Akibatnya BPJPH tidak dapat melakukan eksekusi atas kebijakan kecuali harus memperoleh persetujuan dari Kementerian Agama. Keadaan ini sangat tidak mendukung implementasi policy Ir. H. Joko Widodo sebagai Presiden sekaligus Ketua Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) dan Wapres Prof. Dr. KH. Maruf Amin sebagai Pemikir Besar Industri halal di Indonesia.
Ikhsan menuturkan, dengan kondisi BPJPH setingkat menteri maka pelaksanaan sistem halal dan kinerja BPJPH akan selalu bersinggungan dengan hampir semua Kementerian seperti Kementerian Industri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu tidaklah mungkin urusan umat muslim yang menjadi penduduk mayoritas di Indonesia hanya di kelola oleh Badan dibawah Kementerian Agama.
“Maka sudah selayaknya Indonesia memiliki badan khusus halal yang berada langsung di bawah Presiden.
Indonesia harus menjadi leader dalam industri halal dan keuangan syariah dalam percaturan hubungan dagang internasional. Halal sudah menjadi lifestyle masyarakat dunia, untuk itu perlunya dibentuk badan halal yang bertanggung jawab kepada Presiden,” tegasnya.
Terkait siapa komisioner badan khusus halal jika nanti benar dibentuk, Ikhsan menyebut nama Lukmanul Hakim yang saat ini ada di LPPOM MUI. Alasannya Lukmanul telah berpengalaman dalam hal produk dan makanan halal. IHW pun, sambung Ikhsan, siap menjadi pengawasan badan khusus halal agar kinerjanya sesuai kepentingan umat Islam.
“IHW siap jadi pengawas. Karena lembaga sebesar itu juga harus ada pengawasnya,” tandasnya. (rob)