WartaPenaNews, Jakarta – Ada yang menarik dari aksi bom bunuh diri Gereja Kateral, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021). Di mana, dua pelakunya merupakan pasangan muda yang baru menikah.
Atas fenomena milenial tertarik aksi terorisme ini, sejumlah pakar memberikan analisanya. Menurut psikolog kondang, Nirmala Ika Kusumaningrum, kaum milenial sebaiknya lebih kritis menyikapi setiap isu. Dengan bersikap kritis, milenial diharapkan terhindar dari kelompok radikal. “Berpikir kritis akan membantu anak-anak muda bisa terhindar atau minimal akan mempertanyakan aliran-aliran yang radikal,” Nirmala.
Tentu saja, kritis yang dimaksud bukan sesuatu yang terberi begitu saja. Nirmala memaknai kritis adalah kemampuan untuk terbuka, menganalisis, mendengarkan, mengendapkan, menggali, termasuk menyarikan informasi dari berbagai sumber terkait hal-hal yang ada di sekitar mereka.
Menurut dia, salah satu cara menghindari kelompok radikal adalah dengan berani membuka diri terhadap semua perbedaan dalam kehidupan. Mulai dari perbedaan suku, budaya, agama, keyakinan, selera, sampai gaya hidup sekali pun. “Karena ketika kita mulai melihat bahwa saya lebih atau paling benar daripada dia atau mereka, perlahan bibit radikal mulai terbentuk,” ujarnya.
Nirmala berpendapat, sejatinya, tidak bisa di generalisir bahwa milenial lebih mudah terjebak gerakan radikal. Aksi bom bunuh diri seperti di Makassar, lebih terkait keimanan. “Bukan agama ya. Sehingga akan beda cara pandangnya. Mereka tidak pernah melihat diri mereka sebagai teroris, tapi sebagai pejuang,” tuturnya.
Sementara pakar militer dan intelijen, Susaningtyas Kertopati berpendapat, kebanyakan milenial masih mencari jati diri, dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh.
Menurut Mbak Nuning, sapaan akrabnya, sangat sedikit dari usia milenial memiliki karakter yang kuat, sehingga mudah dipengaruhi hal-hal yang melawan negara. “Pola rekrutmen (teroris) saat ini berkembang menjadi lebih terbuka menggunakan ruang publik seperti sekolah kampus, perkumpulan agama, dan lain-lain,” tuturnya.
Dia menilai, milenial perlu kritis jika menyangkut hal terkait pilihan hidupnya. “Kritis itu tentu bila menyangkut hal terkait dengan pilihan hidupnya. Bila salah ajaran maka kritis itu muncul justru sebagai anti ideologi negara,” ujarnya.
Nuning berpesan, kalangan milenial harus lebih bijak dalam memilih pergaulan dan menghindari kelompok garis keras. Sedangkan, aparat penegak hukum harus bisa membaca penetrasi ideologi yang dinormalisasikan. Sehingga menciptakan enabling environment bagi kelompok teroris untuk melakukan rekrutmen, kaderisasi, dan mendapatkan dukungan dana dan politik. “Hati-hati, saat ini proses enabling environtment cuup marak. Sehingga yang tidak wajar terasa wajar atau normal,” katanya.
Menurut dia, rekrutmen selain dilakukan tertutup, tapi ada ruang-ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan. Ruang-ruang publik yang ia maksud seperti sekolah, kampus, dan media sosial. “Memang pemerintah sudah punya aturan, tapi butuh peran serta masyarakat untuk membantu pengentasan masalah terorisme. Dan ini baik jika milenial dilibatkan,” kata Nuning.
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono, mengatakan, dua pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar merupakan pasangan suami istri yang baru menikah. “Betul pelaku pasangam suami istri baru menikah enam bulan,” ucap Argo.
Direktur The Indonesia Intelligence Institute, Ridlwan Habib menjelaskan, eksekutor dari aksi teror belakangan ini pada umumnya berasal dari generasi muda yang umurnya berada pada rentang kelompok generasi Z dan milenial.
Pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar baru berusia 26 tahun, contoh lainnya pada 2016 lalu pelaku penusukan polisi di Cikokol, baru berusia sekitar 22 tahun. Jaringan teroris, biasanya memang merekrut generasi muda untuk melancarkan aksi mereka. Karena, generasi muda merupakan kelompok umur rentan yang sedang dalam pencarian jati diri. (mus)