IPOL.ID-Persaingan ketat elektabilitas capres sejauh ini hanya terjadi antara Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Dalam beberapa survei kedua tokoh itu saling salip posisi pertama. Bakal capres lain, Anies Baswedan, malah tak bergerak dari posisi tiga di bawah Ganjar dan Prabowo.
Survei Polmark Indonesia periode 23 Januari – 19 Maret 2023, elektabilitas Ganjar tertinggi dengan angka 22,8 persen, disusul Prabowo Subianto 17,4 persen dan Anies 3,9 persen.
Survei Polmark Indonesia melibatkan 62.480 responden di 78 daerah pemilihan (dapil) yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Para responden dipilih dengan metode multistage random sampling.
Kemudian survei Indo Barometer periode 12-24 Februari 2023 mencatat elektabilitas Ganjar di posisi pertama dengan 30,3 persen. Disusul Prabowo dengan 28,4 persen dan Anies dengan 25,3 persen.
Survei ini digelar di 33 provinsi dan melibatkan 1.230 responden. Tingkat kepercayaan survei ini 95 persen dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen.
Dalam simulasi 20 nama yang dilakukan Poltracking Indonesia, elektabilitas Prabowo pada posisi teratas dengan 28,8 persen. Posisi kedua ditempati Ganjar dengan 27,5 persen. Lagi-lagi, Anies berada di posisi ketiga dengan 19,3 persen.
Survei ini dilakukan sebelum Ganjar Pranowo dideklarasikan sebagai kandidat capres oleh PDIP. Sedangkan dalam simulasi tiga nama capres hasil survei Indikator Politik Indonesia, elektabilitas Ganjar berada di posisi pertama dengan 34 persen.
Prabowo diurutan kedua dengan elektabilitas 31,7 persen dan Anies duduk di posisi ketiga pada perolehan 25,2 persen. Survei dirilis 30 April lalu.
Survei Indikator politik juga menyajikan simulasi 6 pasangan cawapres dari Ganjar, Prabowo dan Anies. Dalam enam simulasi itu, Prabowo dan Ganjar bersaing, sementara Anies selalu di urutan ketiga dengan siapapun pasangan cawapresnya.
Lantas mengapa Anies selalu duduk di posisi terakhir dalam tiga besar nama capres di sejumlah survei?
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menilai hal itu bertalian dengan approval rating atau tingkat kepuasan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Karena Anies mengesankan atau dikesankan sebagai capres antitesa Jokowi, maka ketika approval Jokowi naik, elektabilitas Anies turun. Demikian juga sebaliknya,” ujar Burhanuddin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/5).
6 Simulasi Pilpres 2024 Indikator: Prabowo-Ganjar Ketat, Anies Buncit
Sebutan antitesa Jokowi, kata Burhanuddin, pertama kali digunakan oleh mantan Politisi NasDem Zulfan Lindan. Menurut Burhanuddin, istilah itu tidak strategis, baik untuk Anies maupun NasDem. Terlebih, NasDem masih berada dalam barisan pemerintahan saat ini.
Ia menjelaskan approval rating Jokowi yang naik membuat elektabilitas capres dengan narasi perubahan seperti Anies tertekan.
“Ketika approval rating pak Jokowi turun di November 2022, elektabilitas (Anies) saat itu kami rilis naik. Masalahnya setelah November approval rating pak Jokowi naik terus. Ini kabar buruk buat mas Anies,” jelas Burhanuddin dalam tayangan Indikator Politik Indonesia di YouTube, Minggu (30/4).
Peneliti sekaligus Manager Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad berkata dari berbagai survei, suara dukungan terhadap Anies cenderung melemah sejak Oktober 2022. Saidiman menyebut terdapat sejumlah penjelasan yang mendasari hal tersebut.
“Pertama, sejauh ini Anies memang lebih banyak menampung suara kritis pada pemerintah. Mereka yang kurang puas pada kinerja pemerintah, cenderung memilih Anies. Sebaliknya, yang puas pada kinerja pemerintah cenderung tidak memilih Anies. Masalahnya, sekarang tingkat kepuasan publik pada kinerja pemerintah semakin membaik, bahkan di atas 75 persen beberapa bulan terakhir,” terang Saidiman.
Lalu, ia mengatakan Anies melakukan sosialisasi yang cukup masif sejak Oktober 2022 pasca deklarasi oleh NasDem. Kendati demikian, Saidiman menilai sosialisasi tersebut lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan di mana Anies sudah cukup populer.
Menurut Saidiman langkah itu tidak menambah kedikenalan Anies. Alasan ketiga yang disebut Saidiman adalah adanya peningkatan suara dan dukungan pada kompetitor, terutama Prabowo dan Ganjar. Hal ini berpengaruh dengan dukungan kepada Anies.
Oleh karena itu, menurut dia, Anies mesti melebarkan jangkauan sosialisasinya ke daerah lain, yakni pedesaan.
“Untuk menaikkan suara, dia perlu lebih menjangkau wilayah pedesaan dan kelompok masyarakat yang secara sosiologis masih rendah, misalnya pada masyarakat dengan etnis Jawa dan Islam tradisionalis,” jelas Saidiman. (bam)