Jakarta, WartaPenaNews – Kasus dugaan korupsi yang menyeret Walikota Serang H. Syafrudin kembali mencuat menyusul beredarnya informasi penyidik Kejaksaan Agung melakukan gelar perkara pada Kamis, 3 Desember 2020.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Hari Setiyono menampik kabar tersebut.
“Oh ndak.. ndak (tidak ada gelar perkara-red). Tapi saya cek dulu yah,†ujar Hari ketika dikonfirmasi oleh awak media, Jumat (4/12/2020).
Menurut Hari, perkara dugaan korupsi penjualan tanah negara yang melibatkan Syafrudin ditangani oleh pihak Kejaksaan Tinggi Banten.
Hari mengakui perkara itu sempat ditangani oleh Kejakgung dengan meminta saran dari pihak Kejati Banten. Namun dia tak tahu secara pasti, apakah perkara itu sudah ditangani kembali oleh Kejati Banten, atau masih berada di Jampidsus Kejakgung.
“Bisa dicek ke Jampidsus, apakah perkara itu yang menangani Pidsus atau dikembalikan lagi ke Kejati Banten,†pungkas Hari.
Perkara ini berawal dari penjualan aset negara, berupa tanah bengkok seluas 8.200 meter persegi yang berlokasi di Kampung Batok Bali, Serang, Banten.
Kasus ini telah menjerat dua orang terdakwa atas nama M. Faisal Hafiz (MFH) dan terdakwa lain yang telah diputus pidana penjara selama 18 bulan dan denda sebesar Rp100 juta subsider 2 bulan penjara.
Faisal terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi bersama dengan Syarief. Kuat dugaan, mantan camat yang kini menjadi Walikota Serang Syafruddin ikut serta dalam perkara yang merugikan keuangan negara senilai Rp2,3 miliar.
Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Prof. Dr. Suparji Ahmad mengatakan, jika perbuatan memiliki unsur turut serta atas terjadinya suatu tindak pidana, seharusnya orang tersebut bisa dijerat dan diproses secara hukum.
Namun dalam pasal turut serta, masing-masing pelaku harus dikualifikasikan perbuatannya. “Jika mengenakan Pasal 55 KUHP itu memang harus jelas porsinya. Pelaku turut serta dalam konteks sebagai apa? Apakah dia menyuruh, membantu, atau turut serta mengajurkan. Kategori-kategori ini bisa dijerat pidana,†kata Suparji.
Meskipun pelaku sudah mengembalikan kerugian negara, tapi Suparji bilang perbuatan itu tidak serta merta menghapus perbuatan pidananya. Perbuatan itu akan menjadi pertimbangan majelis hakim untuk meringankan vonis terhadap pelaku.
“Dalam UU Tipikor jelas bahwa pengembalian uang hasil korupsi itu tidak bisa menghapuskan perbuatan pidananya. Tapi hanya menjadi pertimbangan saja bagi majelis hakim,†kata Suparji. (rob)