23 April 2025 - 23:33 23:33
Search

Kita Hidup di Negara ‘Rape Public’

WartaPenaNews, Jakarta – Ada yang tonton video Ningsih Tinampi tidak, yang mempersalahkan korban perkosaan? Di video itu, ia mengatakan secara jelas alias cetho welo-welo semacam ini:

“Orang diperkosa itu, jangan mempersalahkan orang yang merkosa. Bapak ibu yang punyai beberapa anak wanita, orang yang merkosa, jangan mempersalahkan orang yang merkosa. Sebab apa, orang yang merkosa itu nafsunya hadir dari orang yang diperkosa. Jadi, semuanya kelirunya wonge, kelirunya wedoke. Ia selalu gunakan pakaian yang mini-mini, dan ia selalu genit-genit di muka orang. Jadi itu yang membuat ada pemerkosaan, jadi pemerkosaan bukan bermakna orang yang merkosa sing salah, tidak, buat saya, orang yang salah itu orang yang diperkosa. Bene lecek, wong ancene dipamer-pamerno, yo pora?”

Gemes tidak sich denger ada wanita yang notabene seorang ibu, tega ngomong demikian? Lebih di video itu, banyak lelaki dan wanita yang mengamini omongan pengobat pilihan yang sedang naik daun itu. Hiks.

Walau sebenarnya, kita bicarakan korban loh, yang tidak hanya wanita dewasa. Banyak pula beberapa anak yang jadi korban tingkah laku cabul orang dewasa, bahkan orangtua sendiri. Apa iya, bocah-bocah itu memahami bagaimana caranya bergenit-genit ria?

Ingin genit bagaimana coba, seumpama masalah pemerkosaan seorang anak wanita oleh ayah tirinya di Jakarta Selatan, belum lama ini. Anak wanita ini baru berusia 9 tahun, pemerkosaan berjalan selama 2 tahun, itu bermakna adik kecil kita ini pertama-tama diperkosa saat usianya 7 tahun.

Maap, capslock-nya memang menyengaja dipencet. Ya bagaimana coba, beberapa kasus semacam itu tidak sedikit banyaknya, ada juga anak yang baru berumur 10 tahun di Tabalong, Kalsel, yang diperkosa oleh ayah tiri. Itu bermakna peristiwanya saat sang anak baru kelas V SD.

Saya punyai anak seumuran para korban. Palingan mereka masih ngobrolin bagaimana caranya buat mainan bernama slime. Jika yang umur 12-13 tahun, paling poll ngobrolin K-Pop. Boro-boro bergenit ria, wong organ seksualnya saja belum tumbuh sempurna.

Dengan keadaan semacam itu, apa sich yang merepresentasikan seks appeal mereka, hingga dapat memancing keinginan lelaki dewasa? Tidak ada, kan?

Serta, kita belum bicarakan tentang para penyintas kejahatan seksual di tempat gempa, seumpama di Sulawesi Tengah, sekian waktu lalu. Bayangkan, dalam kondisi susah, kok masih ada yang sempet-sempetnya melakukan kejahatan seksual?

Berdasarkan catatan Barisan Perjuangan Kesetaraan Wanita Sulawesi Tengah (KPKP-ST), ada lebih dari 20 masalah kejahatan seksual yang dirasakan oleh pengungsi beberapa anak wanita wanita muda.

Coba bayangkan , apa mungkin para wanita muda ini sempat berpikir untuk bergenit-genit ria ditengah-tengah situasi musibah, supaya dilirik para lelaki hidung belang? Mereka korban musibah alam loh, harus juga jadi korban kejahatan seksual.

Belakangan ini, ada berita jika Indonesia menempati rangking dua dalam soal “The Most Dangerous Country for Women” di kawasan Asia Pasifik menurut Value Champion. Wow, rangking dua!

Negeri kita terkasih ini cuma satu rangking dibawah India yang memang rangking satu sebagai negara paling tidak aman untuk ditempati oleh wanita. India tidak cuma rangking satu di Asia Pasifik, dan juga di dunia.

Menurut Value Champion, tempat Indonesia sebagai negara kedua paling tidak aman buat wanita untuk kawasan Asia Pasifik ini berdasarkan data perlakuan kesehatan, keamanan, dan lain-lain, dan kesetaraan gender pada wanita di negeri ini.

Beberapa hal lain yang membuat Indonesia menempati rangking ialah, catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak yang mengatakan jika satu diantara tiga wanita di Indonesia (tak terbatas umur, baik beberapa anak, remaja, atau dewasa) pernah jadi korban kontak fisik atau seksual selama hidupnya.

Makanya, siapa yang tidak kesal dengar pengakuan dari Ningsih Tinampi yang dengan entengnya mempersalahkan korban perkosaan karena berpakaian mini dan ‘bergenit-genit ria memprovokasi nafsu berahi laki-laki’.

Tolong dicatat ya, berdasarkan catatan Lentera Sintas Indonesia jika dari 62.224 responden, tertera 18% korban pelecehan seksual menggunakan rok/celana panjang, 17% menggunakan jilbab, 16% menggunakan pakaian lengan panjang, 14% kenakan seragam sekolah, dan 14% menggunakan pakaian longgar.

Artikel terkenal: Salah Memahami masalah Selaput Dara

Didapati waktu insiden pelecehan seksual banyak terjadi pada siang hari. Ini menyanggah mitos-mitos jika pelecehan seksual seringkali terjadi saat malam hari. Kenyataannya, pelecehan seksual pada siang hari sebesar 35%, sore 25%, pagi 16%, dan malam 3%. Memiliki bentuk dapat berbagai macam, terbanyak verbal dalam tempat biasa seperti komentar atas badan.

Ini ya, sama-sama wanita bukanlah turut memperjuangkan hak-hak wanita, eh justru nyalah-nyalahin sama-sama wanita. Yang disalahin korban kejahatan seksual juga. Apa itu namanya coba, jika bukan ‘budaya memerkosa’ (rape culture)?

Nah, teruntuk kamu-kamu yang membaca artikel saya sebelumnya berjudul “Suami Perkosa Istri Diketawain, Apa Kita Hidup di Negara ‘Rape Public’?”, tidak perlu nyinyirin saya ya. Kita ini memang hidup di negara rape public, kok. (mus)

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait