wartapenanews.com -Â Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi undang-undang narkotika. Semula uji materi ini digadang-gadang akan membuka jalan melegalkan ganja sebagai obat. Banyak orang yang masih salah mengerti tentang ganja medis bahkan menganggap sebagai legalisasi tanaman ganja serta untuk penggunaan hiburan.
MK menyebut bahwa seluruh argumen para penggugat uji materi undang-undang narkotika tidak berdasar. Hakim konstitusi juga menyatakan larangan narkotika golongan I untuk kesehatan didasarkan atas pencegahan penyalahgunaan. “Pemanfaatan narkotika golongan I tidak dapat dilepaskan dari keterpenuhan syarat-syarat yang sangat ketat,†jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan putusan, Rabu (20/7/2022).
Sebelumnya, tiga ibu dari anak-anak dengan cerebral palsy yang didukung oleh organisasi masyarakat sipil pada 2020 mengajukan peninjauan kembali terhadap undang-undang ini dengan alasan penggunaan ganja obat untuk mengobati gejala. Para penggugat mendalilkan bahwa larangan penggunaan narkotika untuk alasan medis merupakan pelanggaran konstitusional terhadap hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.
MK menyadari di berbagai belahan dunia narkotika golongan I sudah dimanfaatkan untuk kesehatan. MK menyadari bahwa narkotika untuk kesehatan harus tersedia. Mereka ingin pemerintah segera melakukan kajian, termasuk kemungkinan perubahan UU Narkotika.
“Secara substansial narkotika adalah persoalan yang sangat sensitif serta karena UU 35/2009 (UU Narkotika) memuat sanksi-sanksi pidana, cukup beralasan apabila pengaturan norma-normanya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya,†jelas Suhartoyo.
Istilah ganja medis menjadi topik hangat setelah negara tetangga Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memberi lampu hijau untuk ganja. Isu tersebut bertambah ramai setelah seorang ibu, Santi Warastuti, yang putrinya berusia 13 menderita cerebral palsy, mengkampanyekan legalisasi ganja untuk penelitian medis saat Care Free Day (CFD) di Jakarta, baru-baru ini.
Istilah ganja medis atau medical cannabis seringkali mendapat pemahaman yang keliru. Seolah-olah apapun jenis ganja dan turunannya, jika dipakai dengan alasan terapi, maka dapat disebut sebagai ganja medis.
Apa sebenarnya ganja medis? Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gajah Mada Prof Dr Zullies Ikawati, Apt dalam video di channel YouTube-nya menjelaskan bahwa istilah ‘ganja medis’ adalah terjemahan dari bahasa Inggris ‘medical cannabis‘ yang digunakan dalam banyak literatur ilmiah.
“Hanya saja perlu diluruskan tentang ganja medis ini yakni bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi atau terapi,†ujar Prof Zullies.
Ganja memiliki beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Komponen utama pada ganja (Cannabis) adalah golongan cannabinoids. Cannabinoids sendiri terdiri dari berbagai komponen, yang utama adalah Tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif, dan Cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif.
Bagian yang menyebabkan efek-efek terhadap mental termasuk menyebabkan memabukkan dan ketergantungan adalah THC-nya, sedangkan CBD memiliki efek farmakologi sebagai anti kejang. CBD sudah dikembangkan menjadi obat, dan sudah mendapat persetujuan oleh FDA (badan otoritas untuk peredaran obat dan makanan di AS), misalnya dengan nama Epidiolex, yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.
Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak merespon terhadap obat lain. Pada kasus penyakit cerebral palsy maka gejala kejang itulah yang akan dicoba untuk diatasi dengan ganja. (mus)