7 May 2024 - 19:20 19:20

Menyusuri Kebersahajaan Rute Ring Of Merapi

WartaPenaNews, Jakarta – Libur cuti bersama selama dua hari di akhir bulan Oktober ini menjadi momen yang tepat untuk
berpergian ke Yogyakarta sekaligus mengunjungi mertua bersama anak-anak. Tentunya sayang jika
dilewatkan untuk sejenak bersepeda menikmati keindahan alam khas Yogyakarta. Karena itu sepeda lipat
saya pun turut serta di bagasi mobil menuju Yogyakarta.

Setelah menghabiskan waktu sehari sebelumnya bersama keluarga, maka Jumat sekitar pukul lima pagi
saya memulai perjalanan menuju rute ring of Merapi. Rute yang menjadi dambaan saya sejak beberapa
bulan terakhir ini. Pagi itu cuaca terlihat cerah, udara sejuk pagi menyapa ramah di sela-sela pepohonan
di sepanjang jalan Desa Sedan tempat saya menginap. Jalan-jalan pedesaan di daerah Sleman ini terawat
baik dengan sisi jalan yang bersih pula sebagaimana yang saya temui hamper di seluruh wilayah
Yogyakarta. Sungguh suatu harmonisasi budaya masyarakat yang luhur menghargai infrastruktur yang
dibangun oleh pemerintah daerah. Selepas Desa Sendang Adi, saya pun mengayuh ke arah utara menuju
Jalan Gito Gati dan pertigaan Denggung. Nama Jalan Gito-Gati diambil dari nama dua seniman kembar.
Keduanya dalang andalan Kabupaten Sleman yang berasal dari dusun Pajangan, Pandowoharjo,
Kabupaten Sleman dengan nama asli Ki Sugito dan Ki Sugati yang lahir pada tahun 1933.

Setelah lampu merah Denggung, saya lanjutkan ke kanan ke arah utara menyusuri Jalan Raya Magelang.
Sepajang kiri jalan saya mencari minimart untuk sekedar mengisi perbekalan air karena belum sempat
sama sekali mengisinya. Namun hanya terlihat beberapa warung kelontong yang sudah mulai beraktifitas.

Ya sudah, saya lanjutkan saja perjalanannya sekalian nanti cari sarapan. Nampak beberapa warga mulai
menyapu halaman rumah dan warung, pertanda dimulainya denyut nadi aktifitas hari ini. Jejeran rumah
sederhana dan pertokoan yang tidak terlalu mewah menjadi ciri khas masyarakat suburban nan bersahaja
ini. Perlahan mengayuh, sampai juga di daerah Tempel.

Tepatnya di daerah Ngebong di sebelah kiri jalan
nampak pabrik plastik yang sudah lama ditinggalkan begitu saja tidak terawat. Udara sejuk masih terasa
meskipun kendaraan mulai ramai melewati Jalan Raya Magelang. Sekitar 13 KM mengayuh, sekilas di
sebelah kiri mulai tampak tenda kecil yang menjajakan jajanan pasar. Waktunya “mengisi perut” dan
perbekalan air. Jajanan tradisional tersusun rapih menggugah selera. Saya pun menyempatkan untuk
berfoto dan berkenalan dengan penjualnya. Ibu Annisa namanya, wanita tangguh asal dese setempat
dengan empat orang anak. Anak sulungnya sedang mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi
swasta di Kota Yogyakarta dengan bea siswa Bidikmisi, suatu program bantuan dari pemerintah bagi
warga yang tidak mampu. Beruntung sekali nasib ibu ini.

Bagaimana bisa tercukupi kebutuhan sekolah
anaknya tanpa bantuan bea siswa? Karena jika dihitung-hitung dari harga jajanan pasar yang dijualnya
yang umumnya sangat murah. Bahkan ada yang dibandrol Rp 500,00 per buah. Murah sekali dibanding
jajanan pasar di Jakarta. Saya pun memilih untuk menyantap arem-arem isi oncom yang keliatannya
menggugah selera ditambah satu bungkus plastik jus jambu merah. Perbekalan air di tas dan botol saya
isi dengan tiga botol air mineral. “Jadi berapa semuanya Bu?” tanya saya. Beliaupun menjawab dengan
angka yang menurut saya murah sekali. Lalu saya memberikan sejumlah uang dua kali lipat dari angka
tersebut. Dalam hati berharap semoga bermanfaat dan membawa rejeki buat Ibu Anisa dan keluarga yang
bersahaja.

Setelah perut terisi dan perbekalan air sudah cukup, perjalanan saya lanjutkan. Tak terlalu jauh dari
warung Ibu Annisa sampailah saya di daerah Salam perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang ditandai
dengan tugu megah. Sesekali saya berpapasan dan menyapa beberapa pesepeda juga yang mengarah ke
Magelang. Tiba di perbatasan Salam dan Muntilan tepatnya di Jembatan Sungai Blongkeng ada
pemandangan menarik di sebelah kiri jalan yaitu Taman 1000 Cinta. Konon kabarnya merupakan daerah
kumuh yang saat ini diubahkan menjadi objek wisata yang instagramable. Memasuki Kota Muntilan, toko
Tape Ketan Muntilan seakan menjadi ikon menyambut kedatangan tiap orang yang memasuki kota ini.
Toko yang sudah berdiri sejak tahun 1935 ini merupakan salah satu destinasi favorit saya bila berkunjung
ke kota Muntilan. Jika dilihat dari tata kotanya tepatnya di Jalan Pemuda, Muntilan terlihat sebagai kota
yang sudah lama berdiri yaitu sejak peralihan kekuasaan atas Karesidenan Kedu dari Kesultanan
Yogyakarta kepada pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1812. Tidak jauh dari toko tersebut ke arah
pusat kota di sebelah kanan jalan terlihat megah Wihara Hong An Kiong yang sudah berdiri sejak 1871.
Dalam benak saya, kota kecil ini ini sungguh menarik dengan cerita sejarahnya.

Pagi masih menyisakan kesejukan di tengah hiruk pikuk aktifitas masyarakat di sepanjang Jalan Raya
Magelang. Asik mengayuh, tak terasa lampu merah simpang Blabak jalan utama menuju Ketep sudah
terlihat di depan mata. Memasuki Jalan Blabak Mungkid jalan beton mulus dan lebar mulai sedikit
menanjak. Pemandangan kiri kanan jalan mulai disajikan hamparan hijau sawah dan perkebunan warga.
Sempat berpapasan dengan ibu-ibu berarak berangkat menuju sawah memulai aktifitas denyut nadi
pedesaan.

Ibu-Ibu Petani Berangkat Menuju Persawahan
Beranjak makin ke utara di sebelah kanan nampak penginapan Resort Sevilla yang asri dan kelihatan
jejeran mobil terparkir rapat menandakan okupasi penuh saat libur panjang ini. Perlahan mengayuh
ditemani aroma udara segar khas pedesaan, sayapun memasuki wilayah Kecamatan Sawangan. Jalan
sudah mulai terasa lebih menanjak, saya tetap usahakan mengayuh santai dengan gear yang ringan sambil
menikmati pemandangan. Kiri kanan jalan masih terlihat perkebunan warga diselingi dengan balai desa,
puskesmas, Bank BRI, area pemakaman umum warga dan sekolah. Setelah melewati pertigaan Jalan
Veteran (menuju Muntilan) dan Jalan Serma Darmin (menuju Candi Asu), saya disambut jalanan yang lebih
menanjak lagi. Namun sambil melihat kiri kanan kesederhanaan kehidupan di desa, tak terasa bisa dilalui
juga. Perlahan menanjak menuju simpang Ketep Pass mulai terlihat Gunung Merapi di sebelah kanan, dan
Gunung Merbabu di sebelah kiri. Dan kita bisa melihat dengan jelas lereng pertemuan dua gunung ini.
Suatu pemandangan yang mengagumkan.

Pemandangan Lereng Gunung Merapi
Tiba di simpang Ketep Pass dan Selo, saya melanjutkan ke arah kanan yaitu Jalan Blabak – Boyolali menuju
Selo. Jalan menurun serasa bonus karena dari tadi menanjak. Di jalan ini, beberapa kali saya berpapasan
dengan mobil pribadi yang bernomor polisi Jakarta yang menanjak dari arah Boyolali menuju Ketep.
Setelah jalanan menurun, kemudian disambut jalan meliuk menanjak dinaungi pepohonan rindang.
Kemudian memasuki wilayah Wonolelo mulai tampak perkebunan sayur dan tercium aroma khas pupuk
kandang. Maka tak heran wilayah ini menghasilkan aneka hasil perkebunan yang bagus sekali. Karena
tanahnya yang subur dengan kearifan masyarakat lokal yang juga memanfaatkan pupuk kandang untuk
meningkatkan produktifitas lahan. Jalan ini serasa berada di tengah lereng Gunung Merapi dan Merbabu.
Sangat eksotis dan sangat fun to ride sekalipun jika menggunakan road bike.

Pertigaan Ketep Pass dan Selo
Semakin jauh mengarah Selo, gradien terasa semakin tinggi dan meliuk. Awan mendung dan kabut pun
mulai menutupi lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Sambil mengayuh mata memandang ke
kanan jalan masuk menuju objek wisata jembatan gantung Jrakah. Sampai di tanjakan dengan tikungan
tajam persis di depan Homestay Gardu Pandang terlihat hamparan luas lereng dengan perkebunan sayur.
Sayapun sempat mengabadikan dengan video pemandangan kabut menuruni punggung lereng. Melewati
jalan berliku dan menanjak, mulai terlihat BRI Selo dan jalan mulai menurun menuju pasar dan alun-alun
Selo persis di samping kantor Polsek Selo. Di ikon kota kecil ini tidak saya lewatkan tanpa berfoto dengan
berlatarkan objek wisata Bukit Sanjaya.

Alun-Alun Selo
Setelah puas beristirahat sejenak di kota kecil Selo, perjalanan dilanjutkan menuruni turunan terjal Jalan
Magelang Boyolali melewati Desa Cepogo. Desa ini terlihat lebih ramai dibanding desa-desa dari sisi
Magelang. Namun daerah ini tetap terlihat asri dan bersahaja. Jika dibalik, rute ini terkenal dengan
sebutan tanjakan “Irung Petruk” karena sangat curam dan berliku. Sambil menikmati “bonus” turunan
dan pemandangan alam, sepeda saya laju meluncur bebas serasa beban hiruk pikuk kehidupan kota lepas
sejenak. Sesekali saya lihat speedometer di jam saya menunjukan angka 50 sampai 60 km/jam memompa
adrenaline. Sesampainya di pertigaan lampu merah Kota Boyolali, saya berbelok ke selatan mengikuti
petunjuk arah ke Kota Yogyakarta menyusuri Jalan Perintis Kemerdekaan, Boyolali lalu berbelok lagi ke
arah selatan. Sekitar pukul 12.00 tiba di daerah Jatinom, banyak daerah terbuka persawahan. Hawa panas
mulai terasa menyengat. Terbesit membayangkan es dawet yang manis dan menyegarkan.

Tak
menyangka, di sebelah kiri jalan kemudian terlihat warung es dawet khas Banjar. Sepedapun saya tepikan
dan langsung memesan semangkuk es dawet yang menggirukan ini. Tak berapa lama, satu mangkuk es
dawet segar berisikan potongan nangka segar, tape ketan, dawet, gula jawa dan es. Kombinasi yang
sempurna untuk menyeka rasa dahaga di teriknya matahari. Satu mangkuk terasa kurang, maka saya
minta lagi satu mangkuk tambahan. Rasa dahaga pergi dan perut terasa kenyang tanpa harus makan siang,
maka saya pun bergegas membayar. Ketika hendak membayar, ternyata ibu penjual es dawet menolak
menerima uang saya. Beliau bilang semuanya gratis. “Lhoo…saya minum dua mangkuk lho Bu” ujar saya.
Tapi beliau tetap tidak mau menerima uang yang saya berikan. “Hari ini gratis Mas” jawabnya. Sesaat saya
teringat bahwa ini hari Jumat. “Oh hari ini Jumat berkah” ujar saya dalam hati. Suatu tradisi yang dianut
beberapa pedagang untuk bersedekah dengan menggratiskan dagangannya pada setiap hari Jumat.
Dengan halus saya tetap memberikan sejumlah uang yang saya lebihkan beberapa kali lipat harga dua
mangkuk es dawet yang saya lahap tadi. “Bu, mohon diterima saja uangnya ya. Semoga berkah” ujar saya.
Beliau pun menerimanya dan berterima kasih. Sembil mengayuh kembali sepeda di sisa perjalanan ke
arah Klaten, saya sangat terkesima apa yang telah saya alami dari kearifan dan kebersahajaan warga yang
saya temui hari itu.

Dawet Ayu Khas Banjar
Memasuki wilayah Klaten, tibalah di daerah Ngawen. Wilayah perbatasan dengan Boyolali yang
merupakan dataran yang didominasi persawahan yang sangat asri dan luas. Sesudah daerah Ngawen,
maka tibalah di pertigaan Kebonarum lalu ke kiri menuju pusat Kota Klaten. Seakan enggan segera
menyelesaikan perjalanan, karena dari Klaten menuju Jogja sudah tidak terlalu jauh. Namun udara terasa
semakin panas memasuki wilayah Jalan Jalan Solo Yogyakarta memaksa saya untuk berhenti sejenak
mencari minimart demi sekedar berteduh dari panasnya hari sembari mengisi persediaan air yang
menipis. Setelah sepuluh menit beristirahat dan persediaan air penuh, sepeda lipat coba saya pacu
beriringan dengan barisan kendaraan roda empat dan dua dan beberapa lampu merah menuju
Yogyakarta. Memasuki daerah Bogem, jejeran penjual es dawet penuh dengan pembeli dan mobil-mobil
yang bernomor polisi dari luar kota berjejer rapih di kiri jalan. Rejeki yang lumayan karena momen liburan
panjang ini. Seakan menjadi penawar makin sulitnya perekonomian warga di tengah palgebluk Covid 19
ini. Menjelang rentetetan akhir perjalanan kali ini, saya semakin bersyukur pada Yang Kuasa atas
kehidupan dengan belajar dari kebersahajaan alam serta manusia yang saya lihat hari ini.

Awan semakin menghitam dan angin terasa semakin kencang selepas pertigaan Lapangan Udara Adi
Sucipto, membuat saya semakin memacu sepeda saya. Dan benar saja, hujan deras tiba-tiba turun tiada
ampun memasuki Jalan Ring Road Utara. Saya semakin asik mengayuh sepeda menembus terpaan hujan
dan angin seakan membasuh hawa panas yang saya rasakan sepanjang jalan dari Klaten tadi. Hujan deras
disertai angin mengawal saya kembali dengan selamat di Kota Yogyakarta pada pukul 15.20 setelah
melewati Ring of Merapi. Salah satu rute favorit saya selama ini.(rob)

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait

|
6 May 2024 - 12:17
Rafah Diserang Israel, 19 Warga Gaza Tewas

WARTAPENANEWS.COM – Israel menyerang Rafah di selatan Gaza pada Minggu (5/5). Aksi Israel adalah tindakan balas dendam atas serangan roket sayap militer Hamas yang menewaskan tiga tentara IDF. Menurut pejabat

01
|
6 May 2024 - 11:14
Pagi Tadi, Gunung Semeru Kembali Erupsi

WARTAPENANEWS.COM – Gunung Semeru yang terletak di Lumajang "batuk" pagi ini, Senin (6/5). Gunung tersebut memuntahkan kolom abu setinggi 700 meter dari atas puncaknya. "Terjadi erupsi Gunung Semeru pada hari

02
|
6 May 2024 - 10:16
Ada Tumpahan Oli, Jalan Juanda Depok Macet Parah

WARTAPENANEWS.COM – Jalan Juanda dari arah Cisalak ke arah Margonda, Depok, macet parah tadi pagi, Senin (6/5) sekitar pukul 08.00 WIB. Ada tumpahan oli jalan dekat Pesona Square Mal. Pantauan

03