WARTAPENANEWS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menilai batas usia kerja hingga jenis kelami pekerja tidak berpotensi diskriminasi dalam dunia kerja. Dengan demikian, MK pun menolak permohonan Perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Pemohon menilai pasal yang diuji tersebut membuka pintu diskriminasi karena pemberi kerja dapat memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan dan diskriminatif seperti usia, jenis kelamin, atau etnis.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo, Jumat (2/8/2024).
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, hak asasi manusia dikatakan sebagai tindakan diskriminatif apabila terjadi pembedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Dengan kata lain, batasan diskriminasi tersebut tidak terkait dengan batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan.
“Sehingga menurut Mahkamah tidak terkait dengan diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan,” kata Arief.
Namun, Mahkamah menegaskan, dalam penempatan tenaga kerja harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja serta pada saat yang bersamaan harus pula mempertimbangkan kebutuhan dunia usaha yang dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Untuk mendukung hal tersebut, maka penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil dan setara tanpa diskriminasi.
Selain itu, juga harus menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. Dengan demikian, pemberi kerja yang menentukan syarat tertentu seperti batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan bukanlah merupakan tindakan diskriminatif.
“Terlebih, pengaturan mengenai larangan diskriminasi bagi tenaga kerja telah tegas dinyatakan dalam Pasal 5 UU 13/2003,” kata Arief.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Guntur berpendapat seharusnya Mahkamah dapat mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian (partially granted). Apabila dilihat dari segi hukum, pasal yang diuji Pemohon secara umum memang sepertinya tidak memiliki persoalan konstitusionalitas.
Namun, jika dilihat lebih dalam, khususnya dari kacamata keadilan, Guntur justru melihat norma a quo potensial disalahgunakan, sehingga membutuhkan penegasan karena sangat bias terkait larangan diskriminasi in casu dalam persyaratan pada lowongan pekerjaan.
Menurut Guntur, norma Pasal a quo sangat jelas menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) bagi para pencari kerja khususnya terhadap frasa “merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” yang sangat diletakan pada pertimbangan subjektif pemberi kerja, seperti mensyaratkan calon pekerja “berpenampilan menarik” (good looking). Jika dibiarkan pertimbangan diletakan pada pemberi kerja meskipun ada norma yang secara umum melarang adanya tindakan diskriminatif in casu Pasal 5 UU 13/2003, namun demikian frasa “dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” dalam Pasal 35 ayat (1) UU 13/2003 ini menampakan secara expressis verbis masuk dalam kategori norma yang tidak jelas/bias (unclear norm) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta perlu ada penegasan berkaitan dengan diskriminasi apa saja yang tidak ditoleransi dalam lowongan atau penerimaan pekerjaan.
“Saya berpandangan, adanya lowongan pekerjaan yang mensyaratkan adanya usia tertentu memang dapat menghambat masyarakat yang sejatinya memiliki kompetensi dan pengalaman lebih namun terhalang usia. Apalagi, pembatasan demikian tentunya bertentangan dengan prinsip yang selama ini saya pegang teguh dalam memutus perkara di Mahkamah Konstitusi yakni prinsip memberi kesempatan dan menghapus pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel,” jelas Guntur.
Sebelumnya, Pemohon merupakan warga Bekasi bernama Leonardo Olefins Hamonangan. Dalam sidang yang digelar pada Senin (13/3/2024) lalu dengan agenda perbaikan permohonan, Pemohon mengatakan, Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menghasilkan keterbatasan akses dan kesempatan bagi tenaga kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan dan keahlian mereka. Norma ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasannya serta kurangnya pedoman dapat menyebabkan interpretasi yang berbeda-beda dalam praktiknya dan menciptakan konflik hukum antara pemberi kerja dan tenaga kerja atau pemberi kerja dan regulator.
Atas nasihat majelis hakim pada sidang sebelumnya, Pemohon juga menambahkan uraian perbandingan peraturan larangan diskriminasi persyaratan lowongan pekerjaan di negara lain, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Belanda. Menurutnya, Jerman memiliki peraturan yang rinci dan jelas terkait persoalan batas maksimal usia, persyaratan, pengalaman kerja, dan lain-lain.
“Mengenai batas usia maksimal dalam lowongan pekerjaan di negara Jerman sendiri harus objektif yang jelas dan masuk akal. Kemudian apabila tidak didasarkan tidak masuk akal maka setiap warga negara dapat melakukan gugatan secara perdata. Sangat disayangkan negara Indonesia tidak ada suatu aturan khusus atau spesifik memberikan kebebasan kepada warga negaranya apabila mengalami diskriminasi atas persyaratan lowongan pekerjaan,” kata dia. (mus)