WartaPenaNews, Jakarta – Dampak Pandemi Copvid-19 di industri penerbangan semakin jelas dengan hilangnya pendapatan bandara dan maskapai penerbangan hampir 90% dibanding saat yang sama tahun lalu. Dampaknya juga berpengaruh pada pendapatan sektor penerbangan lainnya, seperti Airnav, Pertamina dan bisnis retail lain di semua terminal Bandara, khususnya yang dikelola oleh PT Angkasa Pura 1 dan 2. Sebagian besar maskapai penerbangan sudah tidak beroperasi dan kalaupun ada tinggal tunggu waktu untuk mati atau dimatikan. Belum ada terobosan kebijakan yang out of the box atau extra ordinary di sektor penerbangan sesuai keinginan Presiden Jokowil diRatas 18 Juni 2020, kecuali hanya pernyataan-pernyataan dan langkah-langkah regulator yang justru membahayakan keselamatan penerbangan.
Mengapa saya katakan membahayakan keselamatan penerbangan karena umumnya pesawat dan awak kabin yang sudah tidak terbang selama 3 – 4 bulan, tiba-tiba harus terbang dengan mengabaikan protokol keselamatan penerbangan. Misalnya, bagaimana memastikan bahwa kondisi pesawat yang sudah lama tidak beroperasi, seperti : bagaimana kondisi mesin, peralatan hidrolik dan mekaniknya sementara inspektor yang bertugas mengawasi kondisi pesawat ada yang sudah di PHK atau kerja tetapi tanpa insentif. Inspektor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) banyak dari maskapai swasta yang saat ini sudah nyaris berhenti beroperasi. Belum lagi kondisi para pilot dan awak kabin
Sesuai dengan ICAO CASR 91.545 (b) : “An operator shall not assign a pilot to act as a pilot in command of an airplane unless that pilot has made at least three takoffs and landings within the preceding 90 days on the same type of airplane or in a flight simulator approved for the purposeâ€, regulator dan operator harus mentaati. Pertanyaan saya, mengapa peraturan ICAO di atas dilanggar oleh Kemenhub melalui Surat Dirjen Perhubungan Udara Nomor : AU.402/2/22/DRJU.DKPPU-2020 Perihal Pengecualian (Exemption) Terhadap Pilot Proficiency Check dan Recent Experience tertanggal 26 Mei 2020. Disurat itu terlihat bahwa regulator mengizinkan pilot yang sudah 90 hari tidak terbang untuk langsung dapat menerbangkan pesawat (poin 3c). Ini sangat membahayakan keselamatan penerbangan.
Lalu bagaimana dengan bandara ? Pandemi Covid-19 juga menghancurkan bisnis bandara. Bagaimana tidak hancur jika bandara sepi karena maskapai mati dan penumpang sangat sedikit akibat turunnya daya beli serta hilangnya anggaran perjalanan Kementerian/Lembaga karena di relokasi ke penanganan Pandemi Covid-19, ditambah tidak jelasnya kebijakan sektor pariwisata yang membuat publik enggan bepergian.
Pembangunan atau perluasan Bandara yang masif sejak 2015, baik oleh APBN/D maupun investasi swasta, dan saat ini sudah siap beroperasi tidak optimal karena sepi. Bandara yang dibangun oleh investasi swasta/BUMN Kebandarudaraan umumnya besar, kelas internasional, dan mewah. Sejak awal saya ingatkan supaya kalau membangun Bandara yang fungsional saja tidak perlu mewah dengan julukan “terâ€, seperti terbesar, termegah dan ter lainnya kecuali untuk Bandara Hub, seperti Bali, Jakarta/Tangerang, Medan dan Makassar, misalnya. Kalau fungsional, biaya investasi dan biaya operasionalnya pasti rendah sehingga tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) atau biasa disebut Airport Tax yang harus dibayar konsumen atau penumpang juga murah. Begitu pula tariff parkir pesawat.
Parahnya lagi banyak bandara selesai dibangun/direnovasi tidak dapat beroperasi maksimal, bukan saja karena Covid-19 (misalnya: Yogyakarta International Airport, bandara Syamsoedin Noor Banjarmasin), tetapi akses menuju Bandara tersebut belum tersedia (misalnya: bandara Kertajati) dan sebagainya. Sementara Kemenhub juga membangun dan merenovasi beberapa Bandara di beberapa Kota/kabupaten, meski tidak mewah tetapi lokasinya saling berdekatan atau trafik penumpang dan barang rendah. Begitu Pandemi Covid-19 masuk, semua Bandara pemerintah yang sudah pas-pasan penggunanya semakin sepi.
Saran Out of the Box
Lakukan langkah extra ordinary segera untuk maskapai penerbangan dan bandara. Pertama untuk pilot yang sudah 90 hari tidak terbang, dilarang terbang tanpa instruktur karena biar bagaimanapun reaksi pilot yang sudah 90 hari absen, tidak lagi dapat diandalkan untuk menerbangkan pesawat dengan aman. Pengakuan teman-teman pilot senior yang jumpa penulis minggu lalu secara terpisah, membuktikan bahwa mereka memang gamang dan lupa. Saya mohon Kemenhub bisa segera mencabut/merevisi Surat Dirjen Perhubungan Udara ini karena akan membahayakan keselamatan penerbangan.
Kedua terkait dengan bandara sebaiknya segera diputuskan langkah yang extra ordinary selama Pandemi Covid-19 untuk mengurangi kerugian pengelola bandara. Misalnya, bandara yang berdekatan seperti misalnya bandara A. Yani Semarang, YIA, Adi Sucipto dan Adi Sumarmo tidak dioperasikan semua, hingga situasi normal. Tentukan salah satu yang paling murah biaya operasinya, alat navigasinya lengkap, ekonomis dan tersedia pelayanan transportasi. Tidak perlu yang berkapasitas besar karena volume penumpang juga sangat minim (sekitar 15% per pesawat). Bandara yang belum mempunyai akses, segera di tutup sementara (Bandara Kertajati). Yang masih dalam pembangunan/perluasan (Bandara Kediri, Bandara Makassar) hentikan dulu, Yang mempunyai lebih dari satu terminal dan landasan (Juanda Surabaya dan Cengkareng) gunakan satu terminal/landasan saja dan sebagainya. Penghematan perlu dilakukan untuk bisa bertahan melayani konsumen dengan aman. Semoga. (cim)