WartaPenaNews, Jakarta – Di tengah ketidakpastian terkait repatriasi WNI-eks ISIS, muncul kekhawatiran bahwa pemulangan mereka akan membawa `virus terorisme` baru ke Indonesia.
Hal itu diungkapkan oleh Menkopolhukam Mahfud MD pada Rabu (05/02) dan diamini mantan pimpinan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas.
“Kita tahu mereka itu, mau WNI atau WNA, semua berbahaya. Nah, sekarang kalau kita tidak berhati-hati dalam menghadapi `virus` ini, akan sangat berbahaya. Jangan dianggap enteng,” ujar Nasir.
Di sisi lain, sejumlah pakar terorisme mengatakan hal sebaliknya, seperti Sidney Jones yang mengatakan .
Sementara, pendiri Institute for International Peace Building, Noor Huda, mengatakan pemerintah bisa mempertimbangkan untuk ` keep the enemy even closer ` (lebih dekat dengan musuh).
Baca Juga: Pakar ICMI Pertanyakan Pengangkatan Yudian Jadi Kepala BPIP
Dengan mendata para WNI di sana, pemerintah dapat mengetahui kantong-kantong terorisme di Indonesia. Hal itu, ujarnya, bisa membantu pemerintah `mengalahkan gerakan terorisme`.
“Tanpa memahami mereka, kita tidak tahu kantong-kantong mereka. Mereka nggak muncul tiba-tiba. Mereka produk dari sebuah kelompok masyarakat tertentu,” ujarnya.
“Ini kesempatan emas untuk once for all beat this movement ,” ujar Noor.
Pemerintah akan melakukan rapat terbatas untuk memutuskan apakah WNI eks-ISIS akan dipulangkan atau tidak.
Sebelumnya, Mahfud MD mengatakan, pemerintah mungkin akan mendapatkan keputusan di bulan Mei atau Juni.
Virus Terorisme Baru
Noor Huda tidak memungkiri akan ada potensi penyebaran virus terorisme baru melalui kepulangan mereka.
“Mereka balik akan membawa virus baru, itu pasti,” ujarnya.
Ia merujuk pada kejadian di tahun 1980-an, di mana sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi Darul Islam (DI) dan pecahannya pergi ke Afghanistan.
Sebelumnya, kata Noor, mereka adalah `pemain lokal` yang menyerang polisi dan menentang Pancasila.
“Tapi ketika mereka ke Afghanistan, dan kemudian bermetamorfosa menjadi Al-Qaida, yang diserang kepentingan barat dan keahlian mereka jadi lebih OK,” ujarnya.
Selain itu, Noor melihat pemerintah masih pontang-panting menangani napi terorisme yang ada di Indonesia.
Saat ini, mereka tersebar di belasan penjara di Indonesia, dan menurut Noor, BNPT memiliki keterbatasan dalam melakukan penilaian dan pengawasan terhadap mereka.
Belum lagi, kata Noor, banyak penjara di Indonesia yang melebihi kapasitasnya.
“Secara kemampuan lokal, kita masih ngos-ngosan, apalagi di tambah 600 (eks-WNI) itu.”
Hal ini, ujar Noor, harus dipertimbangkan pemerintah sebelum memutuskan apakah mereka akan mengembalikan para WNI itu.
Haruskah anak-anak jadi prioritas?
Menurut Noor, yang harus jadi prioritas pemulangan adalah korban, yakni anak-anak.
“Kalau perempuan belum tentu mereka korban. Tapi anak, kalau anaknya umurnya setahun, misalnya, dan ibunya dipisahkan, ini psikologisnya gimana? Ini memang permasalahan super kompleks,” kata Noor.
Ia menambahkan, memilih WNI prioritas bisa jadi tidak mudah.
“Kalau pilih-pilih begitu (siapa WNI yang akan direpatriasi), Rojava (tempat sejumlah WNI eks-ISIS bernaung), juga nggak mau. Enak aja cherry-picking ,” ujarnya. (mus)