20 April 2025 - 19:55 19:55
Search

Presidential Threshold 20 Persen Tutup Peluang Calon Pemimpin Berintegritas

Oleh: Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah

 

IPOL.ID – Presidential Threshold 20 persen menutup peluang tampilnya sosok berintegritas untuk memimpin bangsa. Waktu Sukarno memulai karir politik di tahun 1927 Indonesia hanya memiliki 78 orang lulusan HBS. HBS (Hoogere Burgerschool) ialah sekolah setingkat SMA.

Sedangkan di tahun-tahun menjelang kemerdekaan, Indonesia hanya memiliki sekitar 400 orang lulusan sekolah tinggi. Kebanyakan berasal dari sekolah kedokteran, selebihnya sarjana hukum, seperti Profesor Soepomo, Achmad Soebardjo, Ali Sastroamidjojo, dan beberapa nama lain.

Mereka inilah, sedikit contoh dari sekian banyak tokoh pada masa itu, yang termasuk di dalam golongan intelektual.

Mereka mendisiplinkan diri dan mematangkan pengetahuan di dalam studi yang mereka pilih dengan menjauhi glamouritas, dan mengatur hidup menurut cita-cita serta peranan yang mereka idamkan.

Mereka kemudian menjadi apostel (pencerah) bagi bangsanya sendiri. Produk mereka di antaranya Undang-undang Dasar ‘45, butir-butir Pancasila, dan komitmen terhadap persatuan bangsa.

Salah satu ciri yang menonjol dari mereka ialah kemampuan dalam menciptakan konsepsi baru, kelincahan berpikir, dan kemampuan tak terbatas dalam mencari kebenaran.

“Pendidikan menjadi ukuran untuk memperoleh tempat penting selama masa pergerakan maupun pada masa revolusi dan sesudahnya. Hal ini jauh lebih penting daripada semangat dan rasa nasionalisme … ” kata sejarawan Onghokham dalam buku “Rakyat dan Negara”.

Terhadap golongan intelektual ini orang Belanda pada masa itu umumnya memandang sinis. Mereka misalnya mengatakan Sukarno sebenarnya seorang Indo atau punya darah Belanda, sebab tanpa hal itu tidak akan bisa menggerakkan bangsanya.

Tiga unsur pokok pemikiran kaum intelektual saat itu umumnya ialah anti-elitisme, anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Ketiga-tiganya sangat identik dengan nasib rakyat kecil.

Dengan pengetahuan yang mereka miliki mereka menjadi pembaharu dan pembawa perubahan untuk kemajuan masyarakat, karena meyakini bahwa ilmu pengetahuan menuntun masa depan sebuah bangsa.

Sukarno, Hatta, Sjahrir, Husni Thamrin, Deuwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara dan beberapa nama lainnya, mendirikan partai politik setelah mengalami pergumulan intelektual, dan menempa diri dengan berbagai pengalaman yang mematangkan karakter mereka sebagai pejuang yang mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Itulah sebabnya mereka mampu membangun partai ideologis yang memiliki garis perjuangan yang jelas.

Partai politik mereka gunakan sebagai alat perjuangan untuk membebaskan rakyat dari berbagai penindasan. Bukan sebagai alat transaksi seperti belakangan ini dipertontonkan dalam memilih calon presiden, dengan dukungan modal dari para bandar yang antara lain membiayai tukang survei berbayar, media berbayar dan buzzersRp sebagai suksesor.

“Perubahan yang dipimpin oleh kalangan intelektual sangat berbeda dibandingkan dengan perubahan yang dipimpin oleh politisi. Pejuang kemerdekaan kita dulu umumnya tokoh-tokoh intelektual. Hasilnya bukan sekedar perubahan berupa kemerdekaan, tapi prinsip-prinsip dasar bernegara dan berbangsa yang dicapai dari kemerdekaan,” tandas tokoh nasional, Rizal Ramli di akun twitter-nya belum lama ini.

Nuansa Pilpres hari-hari belakangan ini memang tiada ubahnya dengan pasar malam, tempat dimana partai-partai politik datang untuk membuka lapak buat dagangannya masing-masing, karena pasar malam menyediakan transaksi dan perputaran uang yang menguntungkan.(Yudha Krastawan)

 

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait