WartaPenaNews, Jakarta -Terumbu karang yang tumbuh secara alami di kawasan Pantai manjuto, Nagari Sungai Pinang Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, mengalami proses bleaching (pemutihan) yang berbuntut mati dan berpengaruh pada kelangsungan hidup ekosistem yang lain.
Berdasarkan Ketua anak Desa Sungai Pinang (Andespin), David, berdasarkan estimasi sementara, terumbu karang yang mengalami proses bleaching ini ada di ruang seluas 0,5 hektare. Serta, saat ini dapat diyakinkan mati.
Menyebabkan, kecuali menurunnya banyaknya ikan yang tergantung hidup dengan terumbu karang, pasti merusak metode pertahanan pesisir pantai. Ultimatum abrasi diantaranya.
“Bleaching ini, termonitor ini hari pada saat pasang surut. Luas nya, kita perkirakan 0,5 hektare. Ini bisa menyebabkan minimnya banyaknya ikan dan merusak metode pertahanan pesisir pantai. Ini peristiwa pertama yang kita dapati di area ini. Telah kita adukan ke DKP Propinsi. Ini terumbu karang yang tumbuh secara alami,” kata David, Jumat 18 Oktober 2019.
Berkenaan langkah selanjutnya, David belum dapat pastikan usaha apa yang akan diambil. Yang jelas, faksinya hingga saat ini masih mengamati dan pastikan berapakah luas ruang yang terekses. Proses Bleaching kata David bisa dikarenakan oleh sejumlah faktor seperti Kerusakan hutan, aktivitas wisata, Sampah dan dampak kabut Asap.
Pengamat Terumbu Karang dari Universitas Bung Hatta Padang, saat melakukan pengamatan dan riset terumbu karang di waktu Bleaching tahun 2016 lalu di Pulau Gosong.
Kabut Asap
Penyelam senior juga sekaligus pengamat terumbu karang dari Universitas Bung Hatta Padang, Indrawadi Mantari katakan, proses bleaching (pemutihan) pada terumbu karang di Nagari Sungai Pinang saat ini, kemungkinan besar dikarenakan paparan kabut asap kiriman yang menempa wilayah Sumatera Barat.
Menurut Indrawadi, meskipun kabut asap di udara dan terumbu karang ada di basic laut, akan tetapi keduanya akan sama-sama pengaruhi dalam proses kehidupan. Ultimatum kabut asap bertambah parah menyelimutinya sejumlah Pulau Sumatera, tidak kecuali pesisir pantai selama pantai barat Sumatera.
“Situasi itu di khawatirkan bisa mematikan ekosistem terumbu karang di pantai barat Sumatera. Terumbu Karang yakni hewan yang berasosiasi dengan tumbuhan, untuk pertumbuhannya terumbu karang melakukan fotosintesis. Proses fotosistesis tersebut benar-benar dikontrol oleh terdapatnya sinar matahari yang cukup sebagai “pembakar” atau kekuatan,” kata Indrawadi Mantari.
Dijelaskan Indrawadi, dalam hal ini diambil perumpamaan, contohnya, kawasan perairan Kota Padang, tertutupi asap diatasnya sampai, cahaya matahari tidak bisa tembus perairan. Dengan tidak bisanya sinar matahari tembus perairan, karenanya secara langsung ataupun tidak langsung bisa mengganggu proses fotosistesis terumbu karang.
“Pada situasi yang lebih parah yakni, sewaktu tragedi asap dibarengi dengan situasi kemarau yang berkepanjangan karena El Nino, suhu peraiaran jadi naik. Serta karena kenaikan suhu yang cepat ini, karenanya terumbu karang mengalami pemutihan (bleaching) dan akhhirnya mati,” tutur Indrawadi.
Apabila terumbu karang mati, karenanya sumber daya lain yang bersangkutan dengannya akan terusik. Seperti dalam ikan karang. Berdasar catatan yang ada, di akhir tahun 2000, terjadi kematian massal terumbu karang di kawasan pantai Sumbar. Dipicu kabut asap.
Kabut asap yang menutupi cahaya matahari ke laut, kata Indrawadi, bisa menimbulkan mengembangnya fitoplanton alga merah. Biota itu dikenal beresiko karena bisa mematikan spesies lain, termasuk terumbu karang. Blooming fitoplanton itu telah mematikan semuanya terumbu karang di laut Sumbar sampai Sumut.
“Habiskan waktu bertahun-tahun untuk recoverynya. Mulai sejak tahun 2000 sampai saat ini, perkembangan terumbu karang baru sekitar 35 persen. Apabila terjadi blooming , situasinya akan kembali 0. Perkembangan terumbu karang itu benar-benar lamban. Cuma 2,5 centimetet per tahun, dan kita mesti tunggu paling cepat 20 tahun untuk bisa melihatnya kembali,” ujarnya.
Indrawadi pastikan, perkembangan kembali atau recovery itu terjadi baik secara alamiah ataupun ilmiah (pemberian manusia). Alamiah karena terjadi transplantasi alami yang lantas tumbuh tunas-tunas baru dalam periode waktu cukuplah panjang untuk jadi dewasa. Oleh karenanya, jika kabut asap terus berbuntut sampai tiga bulan ke depan, blooming fitoplanton di khawatirkan bisa terjadi .
“Kita tidak tahu, kapan kabut asap kiriman itu akan selesai, bergantung dari usaha pemerintah provinsi tetangga untuk mengakhiri pemicu kebakaran hutan di wilayah mereka,” kata Indrawadi.(mus)