WartaPenaNews, Jakarta – Setelah baru empat hari masuk sekolah, Yovi Aulia Dwi Putra dinyatakan positif tertular COVID-19.
Ia tertular dari seorang murid di SDN Panggang 1, Gunungkidul, Yogyakarta.
Kemudian bersama ibunya, Baryanti, Yovi harus melakukan isolasi mandiri.
“Masalah COVID-19 itu kan ngeri, tapi … waktu saya tanya anak saya keluhannya apa, katanya enggak ada apa-apa … pilek, batuk, sesak itu juga enggak ada,” katanya.
“Yang penting kita berdoa semoga enggak ada apa-apa lagi.”
Tapi setelah isolasinya mandirinya selesai, Baryanti mengatakan akan kembali mengirimkan anak bungsunya ke sekolah.
“Karena di rumah pun saya sendiri kurang [mampu] kan mau mengajari,” katanya.
Jumlah jam kerjanya yang dikurangi telah berdampak penghasilannya selama pandemi.
Ini juga menyulitkan dirinya untuk membeli paket internet bagi anaknya.
Made Tasya Nuarta tidak akan pernah lupa kejadian di sore hari yang dialaminya saat bulan puasa di awal Mei lalu.
Keluarganya kemudian pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Pengalaman tersebut membuatnya sangat berhati-hati ketika memutuskan untuk mengirim anaknya kembali ke sekolah.
“Traumanya itu adalah kalau anak saya harus melalui hal yang sama lagi dan tidak bisa kembali sesehat dulu,” kata Tasya.
“Menurut saya, kita itu sangat beruntung bisa melalui semuanya, dalam keadaan saya dan suami sudah divaksinasi.”
Kekhawatiran lainnya adalah ketiga anaknya, yang semuanya berusia di bawah 12 tahun, belum menerima vaksinasi bahkan dosis pertama sekali pun.
“Saya akan baru merasa aman kalau anak-anak sudah divaksinasi,” katanya, yang juga mengaku takut setelah mulai mendengar soal klaster sekolah.
Ketua umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Aman Pulungan mengatakan bulan lalu lebih dari 1.800 anak Indonesia meninggal dunia karena COVID.
Sementara dari laporan Satgas COVID-19 hingga 8 Agustus, sebanyak 1.833 anak usia 6-18 tahun meninggal karena COVID-19, sementara 531 lainnya di bawah usia lima tahun. (mus)