5 May 2024 - 01:43 1:43

Jakarta Perlu Pemulung, Tak Harus Dirumahkan

Oleh; Akhmad Sujadi*

Sejak dilantik Presiden Jokowi menjadi Menteri Sosial pada Rabu (23/12/2020) Tri Rismaharini yang biasa disapa Risma langsung blusukan. Target pertama di sekitar kantor barunya di bilangan Salemba, Jakarta Pusat.

Obyeknya bukan gedung mewah, namun ke kolong jembatan kali, bawah jembatan layang dan ke daerah-daerah kumuh untuk menemui pemulung, pengemis, pengamen dan gelandangan (P3G) yang cukup banyak di Jakarta.

Blusukan Risma ke berbagai obyek kaum miskin kota menjadi sorotan. Tidak hanya media yang memberitakan.

Namun kontroversi justru datang dari sejumlah politikus dan pimpinan daerah terutama DKI Jakarta menanggapinya reaktif, bukan kooperatif duduk bersama Kemensos menjalin hubungun kemitraan positif mencari solusi untuk menata P3G di Ibu Kota yang saat ini masih banyak di Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta yang diwakili Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria beserta dinas-dinas dibawahnya bahkan seperti kebakaran jenggot. Padahal Risma sebagai Menteri Sosial dan juga seorang Ibu, dia tidak tega ketika melihat rakyatnya hidup susah.

Pemulung, pengamen, pengemis dan gelandangan dianggap orang hidup susah karena tidak punya tempat tinggal, tidur diemper toko, tidak di rumah yang layak dan bahkan tak sedikit yang tidur diatas gerobak bersama anak-anaknya.

Masalah P3G di DKI Jakarta ini sudah menaun. Mudah dijumpai diberbagai tempat dan tidak pernah ditangani tuntas oleh DKI Jakarta dan Kementerian Sosial.

Mereka hanya dioperasi bila ada pemberitaan negative akan dampak kehadiran mereka di Ibu Kota Jakarta. Mereka ditangkap, dibina sementara namun tidak dicarikan solusi permanen dan jalan keluar yang tepat.

Wilayah Jakarta tak lebih luas dari salah satu Kabupeten di Jawa Barat. Sebut saja Kabupaten Ciamis lebih luas dibanding Jakarta.

Meski tak luas, Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi magnet bagi kaum urban untuk mencari nafkah, mencari rezeki bahkan Jakarta menjadi tempat menunjukkan kesuksesan seseorang akan lebih mudah dibanding di kampung yang harus susah payah menjadi buruh tani.

Dari lubuk hati terdalam, penulis yakin blusukan Bu Risma tak ada maksud politis. Apalagi settingan seperti dituduhkan para petinggi partai. Sebagai mantan Wali Kota Surabaya dua periode Risma paham masalah perkotaan. Bahkan ia telah mempraktekkan cara menangani masalah P3G di Surabaya.

Karenanya ketika ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri Sosial yang berkantor pusat di Jakarta, naluri keibuan Risma sebagai Ibu yang memiliki belas kasihan terkuak.

Belas kasih Risma sebagai ibu langsung muncul dan mengalir, sehingga setiap kegiatan Risma ke mana pun bila melihat ada P3G beliau akan dan ingin menemuainya.

Langkah Risma diawal tugasnya sudah dicerca, itu lebih baik dibanding pada masa purna tugas di penjara.

Dicerca diawal, Risma akan dapat bekerja untuk mencarikan solusi terbaik bagi permasalahan yang dihadapi Kementerian Sosial untuk menyelesaikan masalah P3G tidak hanya di Jakarta, namun dapat diterapkan permanen di kota-kota besar dengan problematika yang mirip di Jakarta.

Penulis yakin Risma tak pernah berpikir dampak blusukanya akan menuai komentar dan kritik yang demikian menarik perhatian.

Meski dikritik pedas dari kalangan Parpol dan sebagian kecil dari masyarakat Risma hanya tersenyum. Blusukan Risma telah berimbas bagi Kota Jakarta.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria bahkan mengaku tak pernah mendapati atau melihat pemulung di Jalan Soedirman-Thamrin sejak berusia 4 tahun di Jakarta. Lalu Dinas Sosial Kota Jakarta Pusat menanggapinya dan berkomentar pemulung biasa tinggal di kolong jembatan.

Aneka komentar tak menyurutkan Risma untuk terus melangkah, mendapati, berbincang dan menampung para pemulung, gelandangan ke tempat penampunganya di Rumah Pangudi Luhur di Bekasi.

Jakarta Perlu Rumah Pemulung.
Sebagai ibu kota negara, Wajah Jakarta tak berubah signifikan. Kekumuhan, kesemrawutan tetap tak banyak berubah drastis meskipun gubernur berganti dibanding kota-kota di China, Hongkong atau kota di Timur Tengah yang berkembang cepat dan berubah cepat.

Kota-kota di China, Timur Tengah telah berkembang sangat masif, sistemik, dan cepat. Apakah Jakarta perlu pemimpin seorang Tionghoa asli Tionghoa yang punya konsep merubah dalam waktu cepat? Rumah-rumah kumuh, angkot-angkot reot, semua akan ditata habis, bahkan selokan dan sungai akan disulap dengan cepat menjadi wajah menarik bila Jakarta dipimpin seorang visioner.

Jakarta dengan sejuta problematikanya perlu dirubah dengan tangan besi dalam merubah wajah ibu kota. KAI bisa, Jakarta bisa.

Masalah pemulung, pengemis, pengamen dan gelandangan (P3G) di Ibu Kota Jakarta sudah ada sejak lama. Gubernur silih berganti. Menteri Sosial sebagai penanggung jawab masalah juga telah berkali-kali berganti orang.

Mungkin Bu Risma yang paling tepat dan dapat menyelesaikan persoalan secara permanen. Menteri Sosial sebelumnya, maaf belum pernah ada yang menyentuh pada substansi dalam P3G, khususnya di DKI Jakarta.

Risma telah memulai. Tak boleh berhenti. DKI melalui dinas sosial, Satpol PP juga langsung reaksi.

Dalam beberapa hari ini Dinas Sosial aktif operasi P3G. Mereka yang terjaring ditampung di Gedung KONI Jakarta Pusat. Mereka diasessment, ditampung, dikasih makan. Bagi yang akan pulang kampung akan disiapkan transportasi. Itukah solusinya? Belum tentu tepat.

Pada 2005-2007 penulis yang waktu sebagai Humas KAI Daop 1 Jakarta pernah menangani pembongkaran bangunan liar di kolong jalan layang kereta api (KA) antara Manggarai-Gambir-Jakartakota. Juga menangani Pasar Gaplok. Pasar ditengah Rel didaerah Tanah Tinggi, Pasar Senen Jakarta. Tepatnya menjelang masuk Stasiun Pasarsenen dari arah Jatinegara.

Saat itu kami menanganinya bersama-sama dengan Wali Kota Jakarta Pusat Pak Muhayat dan Dirjen Perkeretaapian Pak Soemino Eko Saputro dan Dirut KAI Ronny Wahyudi di Pasar Gaplok.

Kemudian ketika membongkar bangunan liar di bawah jalan layang KA, kami bersama Ibu Silviana Murni yang saat itu menjadi Walikota Jakarta Pusat menggantikan Pak Muhayat.

Disamping mereka terlibat mendampingi tim bongkar bersama pimpinan KAI waktu itu, mereka juga membantu tanaman melalui Dinas Pertanaman. Lalu membangun jalan tembus antar stasiun di bawah jalan layang.

Kemudian di kolong jalan layang banyak ditemukan pria wanita sebatang kara. Sanak saudara mereka telah tiada, mereka makan diberi tetangga dan hidup bertahun-tahun dibangunan kumuh di bawah jalan layang KA.

Melalui kerjasama apik antara KAI dan DKI dengan bantuan Dinas Sosial Jakarta Pusat dan Jakarta Barat kami memulangkan lebih dari 50 keluarga ke kampung halaman karena rumah mereka dibongkar.

Kami bersama Camat Sawah besar kala itu memulangkan warga naik Bus ke daerah Tegal-Brebes-Pekalongan, Bogor dan Banten sekalian dengan truk pembawa alat rumah tangga.

Dengan kolaborasi KAI- DKI kala itu bangunan di bawah jalan layang KA antara Manggarai-Jakaratkota yang sebelumnya dipenuhi bangunan liar dan ribuan penghuni, kini telah bersih. Bahkan Stasiun Cikini, Gondangdia, Juanda, Sawahbesar, Mangga Besar telah difungsikan menjadi perkantoran PT. KAI Daop 1, dan perkantoran anak perusahaan KAI.

Sebelumnya stasiun-stasiun itu menjadi tempat tidur dan tempat penampungan barang bekas P3G di DKI Jakarta.
Masalah P3G di DKI Jakarta ada disetiap Kecamatan, Kelurahan.

Mereka memulung membantu Kota Jakarta mengais sampah laku jual. Tidak semua orang mau menjadi pemulung.

Pemulung ini banyak tinggal sementara di Jakarta. Mereka menghidupi keluarga di kampungnya. Ada yang dari Brebes, Tegal, Banyumas, Bojonegoro, Madura dan banyak lagi dari kota lainnya. Penghasilan mereka sehari bisa Rp250 ribu hingga Rp300 ribu.

Penghasilan pemulung cukup besar dibanding menjadi buruh tani di kampung. Mereka tinggal di sekitar lapak-lapak pengepul barang bekas.

Mereka punya penghasilan, hanya saja tidak punya rumah. Hingga akhirnya mereka tidur sekenanya beralaskan kardus.

Mereka butuh tempat penampungan didalam kota Jakarta, bukan di Bekasi.

Mereka bisa disediakan rumah sewa sederhana untuk tinggal sementara bersama para pemulung lain.

Mereka juga seperti pegawai kantoran. Bila uang sudah terkumpul mereka pulang kampong. Duit hasil kerja digunakan untuk membangun rumah, membeli ternak dan biaya anak sekolah.

Problem berikutnya masalah gelandangan, pengamen dan pengemis. Kalau masalah ini perlu ditampung di rumah penampungan Pangudi Luhur di Bekasi agar bisa berubah mental dan syukur diberi pekerjaan seperti gelandangan yang ditemui Risma di Soedirman-Thamrin diperkejakan di salah satu anak perusahaan BUMN.

P3G bukan hanya seorang, jumlahnya ratusan, bahkan bisa ribuan. Perlu diselesaikan bersama secara komprehenshif. Duduk bareng Kemensos-DKI Jakarta.

Sudah saatnya mencari solusi bukan mengomentari. Salam Perubahan. []

*Pemerhati Transportasi dan Masalah Sosial

Follow Google News Wartapenanews.com

Jangan sampai kamu ketinggalan update berita menarik dari kami.

Berita Terkait

|
4 May 2024 - 12:14
Mal Rabinza di Lebak Hangus Terbakar

WARTAPENANEWS.COM – Kebakaran hebat terjadi di Mal Rangkasbitung Indah Plaza (Rabinza), Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, pada Sabtu (4/5/2024) dini hari. Informasi diperoleh, peristiwa itu terjadi pukul 00.25 WIB.

01
|
4 May 2024 - 11:13
Mayat Pria Ditemukan Tanpa Busana di Perumahan Sukabumi

WARTAPENANEWS.COM – Warga di Perumahan Frinanda, Desa Citepus, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, digegerkan dengan penemuan mayat pria dalam kondisi telanjang. Kejadian tragis tersebut terjadi di rumah blok B1 Nomor 1

02
|
4 May 2024 - 10:06
Exit Tol Jagorawi Arah Puncak Macet, Contraflow Diberlakukan di KM 44

WARTAPENANEWS.COM – Kemacetan terjadi di exit Tol Jagorawi arah Puncak pagi ini, Sabtu (4/5). Ini disebabkan wisatawan yang akan berlibur ke kawasan Puncak pada weekend. Informasi dari Jasa Marga, kemacetan

03