WartaPenaNews, Jakarta – Pemakai internet di tanah air terus naik dan menyentuh angka 180 juta
orang. Dalam 2 tahun kemungkinan besar sudah menembus 200 juta orang.
Catatan We Are Social per hari orang Indonesia berinternet 7 jam 59
menit, artinya itu adalah 1/3 waktu dalam sehari. Fakta inilah yang
membuat bisnis dan tata kehidupan di tanah air bergerak ke ruang siber.
Pemerintah dan swasta sama-sama melakukan digitalisasi. Namun banyaknya
pengambil keputusan yang bukan digital native atau generasi yang
benar-benar lahir dan melek digital membuat keputusan yang dihasilkan
seringkali merugikan. Ini semua karena faktor ketidaktahuan. Potensi
ekonomi digital tanah air menurut Google bisa menembus 100 miliar dollar
US pada 2025.
Baca Juga: Jasa Tirta II Resmikan Jatiluhur Valley and Resort
Dalam acara Indonesian CIO Network di Bali Rabu (4/3), pakar keamanan
siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa tingginya potensi ekonomi
digital, juga akan diikuti oleh potensi fraud akibat kejahatan siber
yang besar pula.
“Karena tren bisnis, transaksi dan pengelolaan negara ini ke arah siber,
tentu tindak kejahatan siber juga akan banyak tumbuh di sana. Karena itu
baik negara maupun swasta harus bersiap diri. Paling tidak menyiapkan
sistem yang menjamin keamanan dan privasi data untuk sukses di ruang
siber,†jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC
(Communication & Information System Security Research Center) ini.
Pratama menambahkan, pemerintah kita ingin investor masuk. Selain
masalah stabilitas, para pemodal ini juga melihat sejauh mana kesiapan
negara mengurusi ruang siber. Dari UU, pelaksanaan teknis, infrastruktur
sampai pada SDM sibernya.
“Secara teknis paling tidak penggunaan teknologi enkripsi harus menjadi
budaya siber di tanah air, fungsinya jelas untuk keamanan. Lalu
melakukan audit digital secara berkala, juga demi keamanan. Lalu
dilengkapi dengan mitigasi kebocoran informasi serta peningkatan
security awareness, semuanya sangat penting dalam mewujudkan ekosistem
yang mendukung pengamanan data dan privasi,†terang pria asal Cepu Jawa
Tengah ini.
Pratama menggarisbawahi, masih ada pekerjaan rumah yang mendasar di
tanah air. Misalnya OJK hanya melakukan pengawasan berdasarkan regulasi
keuangan. Padahal para pelaku pasar keuangan kini sudah banyak
bermigrasi memanfaatkan ruang siber, jadi teknisnya siapa yang
mengawasi, apalagi ada data nasabah di sana, kembali masalah privasi
menjadi sorotan.
“Budaya security awareness harus digalakkan sejak dini, bahkan harus
masuk dalam kurikulum pendidikan. Lalu penggunaan enkripsi, budaya audit
sistem berkala dan mitigasi kebocoran informasi harus diterapkan menjadi
standar di tanah air. Tak kalah penting sejauh mana perlindungan privasi
data penduduk,†terangnya.
Pratama menambahkan, tanpa jaminan privasi dan keamanan , kedepannya
sulit bagi pasar tanah air untuk masuk ke negara lain yang mensyaratkan
pengamanan digital dan privasi yang ketat pada sistemnya. GDPR (General
Data Protection Regulation) misalnya, UU Siber milik Uni Eropa tersebut
mensyarakatkan kerjasama bisnis dan maupun non-bisnis bisa dijalin antar
lembaga beda negara dengan syarat ada regulasi dan teknologi pengamanan
siber yang setara dengan standar Uni Eropa.
Panelist lainnya yang turut mengisi dalam acara tersebut adalah CTO JNE
Arief Rahardjo, Country Manager Laksana Budiwiyono, (ISC)2 Indonesia
Chapter President Andang Nugroho dan Country Manager Tenable Indonesia
Hans Tanit. (cim)