WartaPenaNews, Jakarta – Sebuah video berdurasi dua menit 57 detik menjadi sorotan di media sosial. Video tersebut mempertontonkan aksi rebutan ponsel antara seorang guru dan seorang murid perempuan. Seorang guru berinisial AS (27) mendapati muridnya SA (14) membawa handphone ke sekolahan kemudian berujung pada aksi saling dorong mendorong. Kejadian yang terjadi di SMP Negeri 20 Kajang Bulukumba Sulawesi Selatan ini pun seketika viral dan jadi perbincangan semua kalangan. Tak terkecuali para pemerhati dan praktisi pendidikan.
Novi Chandra, Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengatakan bahwa kasus kekerasan yang terjadi di sekolah tidak boleh dipandang sebagai sebuah kasus semata. Fenomena ini juga harus dilihat sebagai kesalahan sistem pendidikan.
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana cara memperbaiki kesalahan sistem pendidikan ini? Jawabannya adalah dengan menciptakan lingkungan yang positif di sekolah.
“Kemampuan sosial emosi mestinya menjadi agenda utama pendidikan Indonesia, melalui penciptaan ekosistem sekolah yang positif, aman, menyenangkan dan memanusiakan,†ujar Novi yang juga penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan.
Guru dan siswa adalah dua elemen penting yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia pendidikan. Hubungan antara keduanya kadang berjalan harmonis, namun tidak jarang juga bersifat kontradiktif.
Di sinilah kemudian tugas para pengajar harus mulai disetting ulang. Melalui GSM, semua itu dapat terwujud. Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) melakukan transformasi pendidikan yang membuat para siswanya senang dan nyaman di sekolah. Dengan menanamkan nilai-nilai empati pada seluruh elemen sekolah, maka tindak kekerasan di sekolah dapat dipangkas.
Menurut Novi, antara semua pihak di sekolah seharusnya menjalin komunikasi dengan baik. Harus ada kesepakatan yang mengikat semuanya dalam bentuk kode etik. Kode etik sekolah dibuat bersama-sama antara sekolah, anak, dan orang tua agar tercipta ekosistem yang terbuka. Kode etik inilah yang nantinya digunakan apabila terjadi permasalahan di sekolah.
Sayangnya, guru sebagai pihak yang superior seringkali melakukan tindak kekerasan terhadap siswa, dengan alasan ‘tegas’. Mirisnya lagi, kadang oknum guru melakukan tindak kekerasan dengan dalih untuk menegakkan kedisiplinan bagi siswa di sekolah.
“Kebanyakan orang dewasa termasuk guru seringkali enggan untuk menurunkan ego dan mengakui kesalahan di depan anak-anak karena merasa superioritasnya akan hilang. Padahal dengan meminta maaf ketika melakukan kesalahan, koneksi akan semakin terbangun dan anak-anak akan belajar bahwa melakukan kesalahan itu tidak apa-apa asalkan bertanggung jawab dan mengakuinya,†tandas Novi.
Di Indonesia, peran guru seringkali hanya sekadar mengajar saja. Padahal, sebetulnya yang terpenting dari aspek pendidikan di sekolah justru membangun koneksi dengan anak dalam level yang sama dan manusiawi.
Berdasarkan hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Sekitar 88% siswa di Indonesia (rata-rata OECD: 74%) setuju atau sangat setuju bahwa guru mereka menunjukkan kegembiraan dalam mengajar.
Menurut PISA, Anak-anak yang menyukai gurunya cenderung senang dengan apa yang guru sampaikan. Perasaan benci, kecewa, dan tidak nyaman membuat anak-anak tidak akan bisa mempelajari sesuatu dari orang yang tidak mereka sukai.
Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) hadir dengan konsep sekolah masa depan, yang mengubah pola didik mendikte yang telah usang, menjadi sekolah yang menyenangkan. GSM berusaha untuk menciptakan lingkungan positif, mengubah paradigma guru sebagai pengajar menjadi fasilitator. GSM juga melibatkan dan mendengarkan siswa karena mereka adalah subjek, bukan sekadar objek dari pendidikan. (cim)