WartaPenaNews, Jakarta  – Belakangan, banyak obituari tentang Didi Kempot yang sering kali menyebutkan bahwa campursari adalah warisan sang maestro. Jujur, saya ragu. Bukan soal aspek kemaestroannya, tapi aliran musiknya.
Pada awal milenium kedua, musik campursari pernah populer dan setara dengan genre musik nasional lainnya. Namun, seiring pesatnya industri musik pop, campursari tampaknya gagal meregenerasi seniman pop star seperti Manthous.
Ketika Didi Kempot memulai debutnya, kesalahan produser dari label rekaman adalah mem-branding karya-karyanya sebagai genre campursari. Alhasil, banyak orang mengira campursari itu ya lagu-lagu populernya Didi Kempot tanpa mengenal identitas asli campursari.
Campursari itu campuran tangga nada pentatonik (diperoleh dari instrumen gamelan) dan diatonik (diperoleh dari instrumen modern). Namanya saja campursari, mencampurkan intisari. Dalam lagu-lagu Lord Didi, nggak ada bunyi gamelan, ia memilih keroncong dangdut alias congdut sebagai jalur kreativitasnya. Seandainya diperdengarkan lagu campursari sesungguhnya, belum tentu sadboys dan sadgirls bisa menikmati, meskipun tembangnya bisa lebih nglarani ati.
Tak ada yang salah dengan pilihan aransemen musik, selama ia tidak menanggalkan identitas kedaerahannya, ia layak disebut seniman tradisional.
Lagi pula, yang namanya kesenian, ia senantiasa berkembang tak hanya dari segi industri, tapi juga dari segi kreasi. Musisi tradisional Jawa nggak cuma melulu menghasilkan musik berjenis campursari. Waldjinah mengembangkan keroncong campursari, NDX A.K.A mengembangkan hip-hop koplo, Sujiwo Tejo mengaransemen musik balada dengan syair langgam Jawa, Kiai Kanjeng mengaransemen klenengan dipadu instrumen musik band, dan Jogja Hip Hop Foundation mengaransemen hip-hop dipadu instrumen gamelan.
Semua komposer tersebut membuat lagu beridentitas kedaerahan, walau memadukannya dengan corak musik modern. Sebab itu, sebaiknya kita nggak mengenal lagu Jawa hanya campursari one and only.
Ngomong-ngomong, kenapa sih musisi-musisi Jawa niat banget memasukkan unsur etnis dalam berkesenian? Kalau lagunya menuai popularitas kan bisa memunculkan sentimen etnis dengan wacana dominasi musik populer oleh Jawa.
Hmmm… nggak gitu juga sih, bro. Unsur etnis dalam berkesenian bukan semata-mata untuk menonjolkan atribut identitas, melainkan kesadaran terhadap peran musik sebagai sarana komunikasi masyarakat. (mus)