WartaPenaNews, Jakarta – Hasil rapat koordinasi (rakor) tahun lalu yang dihadiri sejumlah menteri di antaranya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menteri BUMN dan Perum Bulog menyepakati membuka keran impor jagung untuk pakan ternak sebanyak 30 juta ton pada bulan Februari 2019 mendatang. Rencana impor itu dikritisi berbagai pihak, sebab pengakuan Kementan surplus 14 juta ton kok malah impor.
Kemendag selaku pemberi izin rekomendasi impor beralasan impor dilakukan lantaran pasokan untuk pakan ternak kurang. Bilang dia, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, minta impor. “Rakor lho yang mutuskan. Bukan kemauan saya,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian secara nasional sepanjang tahun 2018 bahwa produksi jagung mencapai 30,05 juta ton PK, sedangkan kebutuhan konsumsi sekitar 15,58 juta ton PK. Dengan demikian, ada surplus sekitar 14 juta ton.
“Secara nasional selama setahun di 2018 bisa disimpulkan bahwa surplus padi dan jagung sudah bisa kita capai,” ujar Direktur Jenderal Tanaman pangan Kementerian Pertanian, Sumarjo Gatot Irianto, baru-baru ini.
Pengamat pertanian Juli Yulianto mengatakan, selama ini memang produksi jagung tidak merata sepanjang tahun. Nah, menurut dia, pertama, persoalan yang harus diselesaikan pemerintah bagaimana produksi jagung tetap ada sepanjang tahun adalah bagaimana agar kualitas jagung di tingkat petani bisa sesuai dengan standar industri pakar, misalnya tingkat kadar air.
Kedua, PR (pekerja rumah) lainnya adalah bagaimana pemerintah juga bsa menarik industri pakan untuk mau membangun industri di wilayah yang menjadi sentra jagung, seperti Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Sebab selama ini industri pakan lebih banyak di Jawa dan Sumatera Utara.
“Pemerintah boleh saja mengklaim keberhasilan produksi, tapi yan berbicara di lapangan, misalnya harga dan data impor,” ujarnya, Minggu (13/1).
Menurut dia, persoalan lagi-lagi di data. Seperti juga produksi padi beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistis (BPS) menghitung lagi angka produksi padi ternyata berbeda dengan angka sebelumnya. Lebih rendahnya angka produksi padi karena ternyata luas lahan pertanian turun dari perhitungan awalnya.
“Begitu juga dengan produksi jagung, jika luas lahan turun, maka ada kemungkinan angka produksinya lebih rendah dari perhitungan awal. Kalaupun surplus (produksi jagung), jumlahnya tidak akan sebanyak itu,” kata dia.
Senada dengan Juli Yulianto, peneliti dan pengamat dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengatakan, klaim Kementan jagung surplus adalah data yang kurang akurat.
Dia mencontohkan, pada November 2018 keputusan imppr 100 ribu ton jagung malah menyebabkan kenaikan harga jagung di atas Rp6.000 per kg. Dia pun memprediksi kesalahan kembali terjadi saat pemerintah mengimpor 30 ribu ton pada tahun ini.
Keputusan impor saat ini, karena persoalan data. Enggak ada data yang bisa dijadikan pijakan,” katanya. (dbs)